Tri Kaya Parisuda artinya tiga gerak perilaku manusia
yang harus disucikan, yaitu berpikir yang bersih dan suci (Manacika),
berkata yang benar (Wacika) dan berbuat yang jujur (Kayika). Dari tiap
arti kata di dalamnya, Tri berarti tiga; Kaya bararti Karya atau
perbuatan atau kerja atau prilaku; sedangkan Parisudha berarti "upaya
penyucian".Jadi "Trikaya-Parisudha berarti "upaya pembersihan/penyucian
atas tiga perbuatan atau prilaku kita".
Subha Asubha Karma
Sesuai dengan siklus “rwabhineda” perbuatan manusia dapat ditinjau dari dua sisi/dimensi yang berbeda, yaitu antara perbuatan yang baik (subha karma) dan perbuatan yang tidak baik/buruk (asubha karma). Perputaran/siklus subha dan asubha karma ini selalu saling bertautan dan silih berganti satu sama lainnya dan tidak dapat dipisahkan.
Demikianlah sikap dan prilaku manusia selama hidupnya berada pada dua jalur yang berbeda itu, sehingga patut dengan kesadaran budhi nuraninya (manusia) harus dapat menggunakan kemampuan berpikirnya kearah yang lebih baik dan benar. Apabila manusia sebagai makhluk berpikir (punya manah) mau dan mampu mengarahkan pikirannya ke arah yang baik akan mengakibatkan ucapan dan perilakunya menjadi baik (subha karma). Sebaliknya apabila tidak mampu mengarahkan pikiran (mengendalikannya) kearah yang baik, hal inilah mengakibatkan manusia berucap dan berbuat yang buruk (asubha karma). Sebagai manusia dengan ingatan idep/manah ini harus dengan cermat dapat memilah dan memilih perbuatan baik sehingga tidak terjerumus dalam perbuatan buruk. Dalam Sarasamuscaya ditegaskan bahwa hakekat penjelmaan sebagai manusia adalah untuk rneningkatkan/menyempurnakan diri dari perbuatan buruk (asuba karma) menjadi perbuatan baik (subha karma). Apa yang diuraikan dan dijelaskan pada sloka tersebut di atas adalah tugas utama atau hakekat penjelmaan sebagai manusia, untuk melebur perbuatan buruk (asubha karma) menjadi perbuatan baik (subha karma).
Menjelma menjadi manusia itu adalah sungguh-sungguh utama, sebabnya demikian karena ia dapat menolong dirinya dari keadaan sengsara (lahir dan mati berulang-ulang) dengan jalan berbuat baik, demikianlah keutamaan/keuntungan dapat menjelma menjadi manusia. Lantas bagaimana halnya bila seseorang tidak mau melaksanakan perbuatan baik? Orang yang demikian itu dianggap (bagaikan) orang sakit (penyakit) yang menjadi obat neraka loka dan apabila meninggal dunia, maka ia dianggap sebagai orang sakit yang pergi ke suatu tempat dimana tidak ada obat-obatan yang mengakibatkan selalu dalam penderitaan yang membara. Oleh karena itu usahakanlah selalu secepatnya berbuat yang baik (subha karma).
PENYUCIAN PIKIRAN (MANACIKA)
Inilah tindakan yang harus diprioritaskan, karena pada dasarnya semua hal bermula disini. Ia menjadi dasar dari prilaku kita yang lainnya (perkataan dan perbuatan); dari pikiran yang murni akan terpantul serta terpancarkan sinar yang menyejukan orang-orang disekitar kita, sebaliknya pikiran keruh akan meruwetkan segala urusan kita, walaupun sebenarnya tak perlu seruwet itu. Tentu ruwet tidaknya suatu permasalahan, amat tergantung pada cara kita memandang serta cara kita menyikapinya.
Bila pandangan kita sempit dan gelap, semuanya akan menjadi sumpek dan pengap. Sebaliknya bila pandangan kita terang, segala hal akan tampak jelas sejelas-jelasnya. Ibarat mengenakan kacamata, penampakan yang diterima oleh mata amat tergantung pada kebersihan, warna bahan lensanya, serta kecangihan dari bahan lensanya. Jadi, apapun adanya suatu keberadaan, memberikan pancaran objektif bagi kita, namun kita umumnya tidak dapat menangkapnya dengan objektif.
Pandangan kotor akan menampakkan objek kotor dan tidak murni dimata kita. Apabila cara pandang serupa itu kita gunakan memandang berbagai fenomena hidup dan kehidupan, tentu hidup kita menjadi ruwet, menimbulkan duka-nestapa, serta berbagai kondisi-kondisi pikiran negatif. Hal inilah yang terjadi dalam pikiran kita. Pikiran kita menjadi kotor dan suram pandangan kita sendiri. Untuk itu hanya kita sendiri yang dapat membersihkannya. Hal ini dalam Hindu disebutkan :"tak ada makhluk dari alam manapun yang dapat menyucikan batin kita, apabila kita sendiri tidak bergerak dan berupaya kearah itu, terlebih benda-benda materi, tentu tak mungkin menyucikan siapa-siapa". Untuk menyucikan pikiran, perlu memperbaiki pandangan terlebih dahulu. Untuk memperbaiki pandangan, diperlukan pemahaman yang baik dan mencukupi tentang falsafah ajaran agana yang dapat dipelajari dari kitab suci dan bimbingan guru. Melalui hal tersebut, banyak kegelapan dan kegalauan batin kita menjadi sirna, terbitnya cahaya terang dalam batin melalui bimbingan beliau, membantu mempercepat proses menuju tujuan akhir.
Tiga macam implementasi pengendalian pikiran dalam usaha untuk menyucikannya, disebutkan di dalam Saracamuscaya, adalah:
1. Tidak menginginkan sesuatu yang tidak layak atau halal.
2. Tidak berpikiran negatif terhadap makhluk lain.
3. tidak ingin dan dengki pada milik orang lain (si tan engin adengkya ri drbyaning len)
4. tidak bersikap gemas (marah), kasar kepada semua makhluk (si tan krodha ring sarwa sattwa).
5. Tidak mengingkari HUKUM KARMA PHALA atau percaya akan kebenaran ajaran karmaphala (si mamituha ni hananing karmaphala).
Demikianlah disebutkan didalam salah satu Kitab Suci umat Hindu, bila kita cermati inti dari tiga hal di atas adalah bahwa dengan faham karma phala sebagai hukum pengatur yang bersifat universal, dapat membimbing mereka, yang meyakininya untuk berpola pikir yang benar dan suci.
PENYUCIAN PERKATAAN (WACIKA)
Terdapat empat macam perbuatan melalui perkataan yang patut di kendalikan, yaitu:
1. Tidak suka mencaci maki(ujar ahala).
2. Tidak berkata-kata kasar pada siapapun (ujar aprgas).
3. Tidak menjelek-jelekan, apalagi memfitnah makhluk lain (ujar pisuna).
4. Tidak ingkar janji atau berkata bohong (ujar mithya).
Demikianlah disebutkan dalam Sarasamuscaya; kiranya jelas bagi kita bahwa betapa sebetulnya semua tuntunan praktis bagi pensucian batin telah tersedia. Kita harus dapat menerapkannya sesuai dengan kemampuan masing-masing.
PENYUCIAN PERBUATAN FISIK dan PRILAKU (KAYIKA)
Terdapat tiga hal utama yang harus dikendalikan, yaitu :
1. Tidak menyakiti, menyiksa, apalagi membunuh-bunuh makhluk lain (syamati-mati).
2. Tidak berbuat curang, sehingga berakibat merugikan siapa saja (mangahalal halal).
3. Tidak berjinah atau yang serupa itu (si paradara).
Demikianlah sepuluh hal penting dalam pelaksanaan Tri Kaya Parisudha sesuai dengan apa yang dijabarkan dalam kitab Saracamuscaya. Pengamalan Tri Kaya Parisudha dalam kehidupan sehari-hari sangat diperlukan untuk membentuk karma serta hubungan yang baik antar sesama umat.
Subha Asubha Karma
Sesuai dengan siklus “rwabhineda” perbuatan manusia dapat ditinjau dari dua sisi/dimensi yang berbeda, yaitu antara perbuatan yang baik (subha karma) dan perbuatan yang tidak baik/buruk (asubha karma). Perputaran/siklus subha dan asubha karma ini selalu saling bertautan dan silih berganti satu sama lainnya dan tidak dapat dipisahkan.
Demikianlah sikap dan prilaku manusia selama hidupnya berada pada dua jalur yang berbeda itu, sehingga patut dengan kesadaran budhi nuraninya (manusia) harus dapat menggunakan kemampuan berpikirnya kearah yang lebih baik dan benar. Apabila manusia sebagai makhluk berpikir (punya manah) mau dan mampu mengarahkan pikirannya ke arah yang baik akan mengakibatkan ucapan dan perilakunya menjadi baik (subha karma). Sebaliknya apabila tidak mampu mengarahkan pikiran (mengendalikannya) kearah yang baik, hal inilah mengakibatkan manusia berucap dan berbuat yang buruk (asubha karma). Sebagai manusia dengan ingatan idep/manah ini harus dengan cermat dapat memilah dan memilih perbuatan baik sehingga tidak terjerumus dalam perbuatan buruk. Dalam Sarasamuscaya ditegaskan bahwa hakekat penjelmaan sebagai manusia adalah untuk rneningkatkan/menyempurnakan diri dari perbuatan buruk (asuba karma) menjadi perbuatan baik (subha karma). Apa yang diuraikan dan dijelaskan pada sloka tersebut di atas adalah tugas utama atau hakekat penjelmaan sebagai manusia, untuk melebur perbuatan buruk (asubha karma) menjadi perbuatan baik (subha karma).
Menjelma menjadi manusia itu adalah sungguh-sungguh utama, sebabnya demikian karena ia dapat menolong dirinya dari keadaan sengsara (lahir dan mati berulang-ulang) dengan jalan berbuat baik, demikianlah keutamaan/keuntungan dapat menjelma menjadi manusia. Lantas bagaimana halnya bila seseorang tidak mau melaksanakan perbuatan baik? Orang yang demikian itu dianggap (bagaikan) orang sakit (penyakit) yang menjadi obat neraka loka dan apabila meninggal dunia, maka ia dianggap sebagai orang sakit yang pergi ke suatu tempat dimana tidak ada obat-obatan yang mengakibatkan selalu dalam penderitaan yang membara. Oleh karena itu usahakanlah selalu secepatnya berbuat yang baik (subha karma).
PENYUCIAN PIKIRAN (MANACIKA)
Inilah tindakan yang harus diprioritaskan, karena pada dasarnya semua hal bermula disini. Ia menjadi dasar dari prilaku kita yang lainnya (perkataan dan perbuatan); dari pikiran yang murni akan terpantul serta terpancarkan sinar yang menyejukan orang-orang disekitar kita, sebaliknya pikiran keruh akan meruwetkan segala urusan kita, walaupun sebenarnya tak perlu seruwet itu. Tentu ruwet tidaknya suatu permasalahan, amat tergantung pada cara kita memandang serta cara kita menyikapinya.
Bila pandangan kita sempit dan gelap, semuanya akan menjadi sumpek dan pengap. Sebaliknya bila pandangan kita terang, segala hal akan tampak jelas sejelas-jelasnya. Ibarat mengenakan kacamata, penampakan yang diterima oleh mata amat tergantung pada kebersihan, warna bahan lensanya, serta kecangihan dari bahan lensanya. Jadi, apapun adanya suatu keberadaan, memberikan pancaran objektif bagi kita, namun kita umumnya tidak dapat menangkapnya dengan objektif.
Pandangan kotor akan menampakkan objek kotor dan tidak murni dimata kita. Apabila cara pandang serupa itu kita gunakan memandang berbagai fenomena hidup dan kehidupan, tentu hidup kita menjadi ruwet, menimbulkan duka-nestapa, serta berbagai kondisi-kondisi pikiran negatif. Hal inilah yang terjadi dalam pikiran kita. Pikiran kita menjadi kotor dan suram pandangan kita sendiri. Untuk itu hanya kita sendiri yang dapat membersihkannya. Hal ini dalam Hindu disebutkan :"tak ada makhluk dari alam manapun yang dapat menyucikan batin kita, apabila kita sendiri tidak bergerak dan berupaya kearah itu, terlebih benda-benda materi, tentu tak mungkin menyucikan siapa-siapa". Untuk menyucikan pikiran, perlu memperbaiki pandangan terlebih dahulu. Untuk memperbaiki pandangan, diperlukan pemahaman yang baik dan mencukupi tentang falsafah ajaran agana yang dapat dipelajari dari kitab suci dan bimbingan guru. Melalui hal tersebut, banyak kegelapan dan kegalauan batin kita menjadi sirna, terbitnya cahaya terang dalam batin melalui bimbingan beliau, membantu mempercepat proses menuju tujuan akhir.
Tiga macam implementasi pengendalian pikiran dalam usaha untuk menyucikannya, disebutkan di dalam Saracamuscaya, adalah:
1. Tidak menginginkan sesuatu yang tidak layak atau halal.
2. Tidak berpikiran negatif terhadap makhluk lain.
3. tidak ingin dan dengki pada milik orang lain (si tan engin adengkya ri drbyaning len)
4. tidak bersikap gemas (marah), kasar kepada semua makhluk (si tan krodha ring sarwa sattwa).
5. Tidak mengingkari HUKUM KARMA PHALA atau percaya akan kebenaran ajaran karmaphala (si mamituha ni hananing karmaphala).
Demikianlah disebutkan didalam salah satu Kitab Suci umat Hindu, bila kita cermati inti dari tiga hal di atas adalah bahwa dengan faham karma phala sebagai hukum pengatur yang bersifat universal, dapat membimbing mereka, yang meyakininya untuk berpola pikir yang benar dan suci.
PENYUCIAN PERKATAAN (WACIKA)
Terdapat empat macam perbuatan melalui perkataan yang patut di kendalikan, yaitu:
1. Tidak suka mencaci maki(ujar ahala).
2. Tidak berkata-kata kasar pada siapapun (ujar aprgas).
3. Tidak menjelek-jelekan, apalagi memfitnah makhluk lain (ujar pisuna).
4. Tidak ingkar janji atau berkata bohong (ujar mithya).
Demikianlah disebutkan dalam Sarasamuscaya; kiranya jelas bagi kita bahwa betapa sebetulnya semua tuntunan praktis bagi pensucian batin telah tersedia. Kita harus dapat menerapkannya sesuai dengan kemampuan masing-masing.
PENYUCIAN PERBUATAN FISIK dan PRILAKU (KAYIKA)
Terdapat tiga hal utama yang harus dikendalikan, yaitu :
1. Tidak menyakiti, menyiksa, apalagi membunuh-bunuh makhluk lain (syamati-mati).
2. Tidak berbuat curang, sehingga berakibat merugikan siapa saja (mangahalal halal).
3. Tidak berjinah atau yang serupa itu (si paradara).
Demikianlah sepuluh hal penting dalam pelaksanaan Tri Kaya Parisudha sesuai dengan apa yang dijabarkan dalam kitab Saracamuscaya. Pengamalan Tri Kaya Parisudha dalam kehidupan sehari-hari sangat diperlukan untuk membentuk karma serta hubungan yang baik antar sesama umat.
0 komentar:
Posting Komentar