Ilustrasi |
Tokoh lain yang berhasil dalam “yoga” adalah Arjuna. Ceriteranya dimulai ketika terjadi perjudian antara Pandawa dan Kurawa. Yudhistira kalah dalam bermain “dadu” dengan Sengkuni. Pandawa kehilangan segalanya dan terusir dari kerajaan. Kekalahan dan penghinaan membuat Bhima dan Arjuna marah dan ingin menyerbu Kurawa. Tetapi Begawan Wyasa dan Semar menahan mereka. Beliau memberi nasehat agar mereka “jangan berbuat apapun selagi marah”. Kemarahan akan menimbulkan “kegelapan” hingga tidak dapat berfikir secara jernih. Di fihak Kurawa, ada Bhisma, Durna, Kripa, Karna, tokoh-tokoh sakti, yang belum tentu Pandawa sanggup mengalahkannya. Karena itu Begawan Abiasa menyarankan agar Arjuna “bertapa”, memohon kepada Dewa Siwa untuk berkenan menganugerahi senjata sakti, Pasopati. Arjuna pun berangkat.
Arjuna pergi ke wilayah Gunung Kailasa, mendirikan pertapaan bernama “Indrakila” dan menjadi petapa bernama “Cipta Hening” atau “Mintaraga”. Selagi bertapa mula-mula Arjuna digoda “tujuh bidadari” utusan Sang Hyang Indra. Mereka gagal menggoda Arjuna. Kemudian Dewa Indra menyamar sebagai pendeta bernama Reshi Padya dan “berbantah” dengan Arjuna, yang masih membawa “senjata”. Arjuna menjawab bahwa ia membawa senjata karena “ksatria”, ia bertapa masih dalam bingkai “dharma ksatria” dan tidak ingin menjadi “brahmana”. Arjuna meneruskan bertapa, tiba-tiba pertapaannya dirusak “babi hutan” bernama “Mamang Murka”, babi dipanah dan mati, tetapi ternyata ada dua anak panah yang menancap di bangkai babi. Akhirnya Arjuna mengetahui bahwa pemanah yang lain adalah seorang “tuwa buru” (pemburu). Terjadi perselisihan antara Arjuna dan pemburu. Arjuna kalah dan mulai memuja mohon pertolongan Sang Hyang Siwa, ternyata pemburu tersebut adalah Dewa Siwa sendiri, yang amat berkenan melihat keteguhan hati Arjuna. Kepada Arjuna dijanjikan akan diberi senjata “Pasopati”, tetapi masih perlu membersihkan diri dan memperhalus jiwa dengan belajar “seni tari” di Kahyangan. Di Kahyangan Arjuna belajar seni tari dibawah bimbingan “Bethara Citrasena” dan “Bidadari Urwasi”. Arjuna berhasil menjadi penari handal, tetapi Dewi Urwasi jatuh cinta kepada Arjuna dan ketika ditolak ia mengucapkan kutuk pastu: “kelak Arjuna akan menjadi seorang banci”. Setelah lulus sebagai penari Arjuna diberi tugas menaklukkan prabu “Niwata Kawaca”. Dengan bantuan Dewi Supraba, Arjuna dapat membunuh Niwata Kawaca dengan memanah “sumber kekuatan” yang terletak di “ujung lidah”nya. Akhirnya, setelah selesai tugasnya Arjuna kembali ke Kahyangan, mendapat anugerah senjata “Pasopati” dan kawin dengan “Dewi Supraba”.
Kisah “Arjuna Wiwaha” sepintas hanyalah sebagai cerita biasa yang menarik. Namun kalau di”rasa”kan dengan menafsirkan simbol simbolnya sebenarnya memuat kedalaman ajaran “yoga” yang luar biasa. Bila “Dewa Ruci” hanya memberikan ajaran secara “garis besar”, tetapi “Arjuna Wiwaha” menerangkan secara detail, yaitu menaklukkan cakra-cakra yang ada pada manusia, yang jumlahnya sebanyak 7 cakra. Dimulai dari: 1. godaan 7 bidadari, 2. perbantahan dengan reshi Padya, 3. membunuh babi, 4. perang melawan pemburu, 5. belajar tari, 6. menebas ujung lidah, 7. akhirnya mendapat senjata Pasopati dan kawin dengan Dewi Supraba. Keseluruhan ceritera menggambarkan betapa Arjuna telah mampu mengendalikan nafsu-nafsunya, baik yang bersumber dari jasmani maupun rohani. Penebasan ujung lidah Niwata Kawaca yang sakti berarti Arjuna telah membuang ke”aku”annya, yang bersumber dari fikiran dan ucapan. Setelah itu Arjuna mendapatkan “pasopati” berarti “dilukat”, jiwanya dibersihkan hingga menjadi “kosong”. Pada saat itulah ia wiwaha atau “kawin” dengan “Su-praba”. “Su” artinya sangat indah (linuwih) sedang “praba” berarti cahaya. Artinya Arjuna berhasil menyatu dengan “Sang Maha Cahaya”. Atau “Cahya linuwih” atau “Jumbuh Kawula lan Gusti”.
Moral adalah ukuran.
Tujuan orang beragama adalah mencari kebahagiaan lahir batin. Sedang tujuan “memuja” atau “bersembahyang” adalah mencari ketenangan dan kedamaian batin, “Yoga” adalah sembahyang tingkat tinggi, dengan pengerahan energi diri untuk “mengosongkan” diri, untuk iru perlu kosentrasi secara penuh. Tanpa gangguan dari luar maupun dari dalam. Berdasar uraian di atas jelaslah bahwa kebersihan batin merupakan syarat mutlak bagi seseorang bergelu di bidang spiritual dan lebih-lebih persemadian. Seseorang yang berperilaku baik jiwanya selalu bersih, dan tanpa beban, hingga membantu proses konsentrasi ketika mengawali persamadhian. Tidak ada gangguan dari dalam. Itulah sebabnya “moral” penting dan menjadi “ukuran kedewasaan seseorang”, Moral bisa terjaga apabila telah mampu menjauhkan diri dari “keduniawian”. Biasanya hal demikian baru bisa dicapai bila orang sudah dewasa, bila telah cukup umur. Karena itulah ajaran “ilmu tuwa” umumnya baru diberikan kepada mereka yang telah berumur. Ilmu adalah “ngelmu”, artinya baru mempunyai makna bila diaplikasikan dalam perilaku keseharian. Apabila perilaku tidak baik akan mendapat teguran keras “Ora Jawa”. Jadi bagi orang Jawa moral tolok ukur kadar “kejawaan” seseorang. Nasihat leluhur menganjurkan: “mlaku sak mlaku sembahyang”, artinya “setiap” langkah harus bernilai sembahyang, yang hanya dipertanggungjawabkan kepada Tuhan. Di sini kata “sembahyang” diartikan sebagai kesungguhan “kerja yang bersifat yadnya”, yaitu perbuatan yang mempunyai nilai persembahan dan bukan permintaan. Oleh karena itu setiap perbuatan harus dilaksanakan tanpa pamrih, sepi ing pamrih rame ing gawe (kerja keras tanpa pamrih), atau magawe tan agawe, artinya bekerja keras tanpa merasa menghasilkan sesuatu. Kita harus yakin bahwa dalam yadnya memang tak ada tempat bagi pamrih apa pun. Ajaran demikian ini dalam Hindu dikenal sebagai “ Karma Yoga”, yang mengutamakan disiplin perilaku yang tanpa pamrih. Jalan inilah landasan dasar bagi mereka yang gemar ulah persemadian. Bagi para penggemar ilmu kejawen kata-kata bijak yang sering menjadi acuan adalah “ngelmu iku kelakone kanthi laku”, yang artinya “ilmu baru akan berarti apabila terwujud dalam peri laku”. Atas dasar perilaku “sepi pamrih” inilah terjadilah motto Maju tanpa Bala, Sakti tan aji, Menang tan angasoraken.
2. Sakti tan aji, artinya kuat dan tangguh, namun tetap sederhana dan rendah hati.
3. Menang tan angasoraken, artinya dapat mengatasi permasalahan tanpa merasa berprestasi, tidak menyinggung, apalagi menyakiti hati perasaan.
Sebenarnya apa yang dilakukan oleh para pecinta persemadian itu adalah apa yang dinamakan “panca yama dan niyama brata”, yaitu anjuran yang harus dilakukan oleh mereka yang gemar ulah yoga, yaitu:
Panca yama brata yaitu:1. Ahimsa, tidak menyiksa, menyakiti apalagi membunuh.
2. Brahmacari, tidak melaksanakan hubungan seks,
3. Satya, selalu cinta kebenaran dan menyenangkan dalam bergaul,
4. Awyawaharika, selalu berusaha di jalan yang benar, tulus dan damai,
5. Asteya, tidak mencuri dan melakukan perbuatan yang merugikan orang lain.
Panca nyama brata yaitu:
1. Akroda, tidak dikuasai oleh kemarahan,
2. Guru susrusa, selalu hormat dan taat kepada guru,
3. Sauca, selalu menjaga kesucian lahir batin,
4. Aharalaghawa, disiplin dalam makanan, baik waktu maupun jenisnya,
5. Apramada, tidak sombong dan mau mempelajari/mengamalkan ajaran suci.
Mereka yang mampu menjalankan Yama-Niyama ini tentulah hanya seorang religius yang dewasa lahir batin. Di dunia pewayangan Bhima adalah contoh yang tepat. Ia hanya berkarya dan berkarma tanpa berharap pahala. Polos dan lebih banyak diam daripada mengucapkan kata-kata yang tidak perlu.
Ajaran Jawa Hindu/Hindu Jawa adalah Ngelmu Jawa yg harus dilestarikan karena ajarannya BAIK untuk dilakukan bagi setiap orang yg mengaku GETIH lan DHAGING JAWA kita turunan orang JAWA TULEN.Untuk itu perlu dipahami pentingnya ajaran Jawa yg ADI LUHUNG, luhur ing budi tulus ing pakarti, Inspirasi/ teladan yg harus diambil dari cerita ARJUNA WIWAHA/ARJUNA KAKAWIN penting untuk dipelajari dihayati refleksi ILMU JAWI kanthi tulus lan tumusing ati pasrah krono Gusti Allah Kang Akarya Jagad Raya kanthi teguh dalam Iman, taat dalam Ibadah dan tekun dalam Doa Amin Oleh : Niko Arystardi/Niko Prijoadmodjo/ Niko Lendran Kediri Raya
BalasHapus