Kelahiran Vibhisana
Dalam kehidupan sehari-hari sering dijumpai orang
dengan sifat dan karakter yang berbeda-beda dan memang sudah kodrat manusia ada
yang mempunyai kecenderungan untuk berbuat baik dan berbuat buruk. Dalam panca
sradha, hal ini dapat dipahami melalui ajaran hukum karma. Kecenderungan untuk
berbuat baik merupakan sifat yang diajarkan dalam subha karma, sedangkan
kecenderungan untuk berbuat buruk merupakan sifat dari asubha karma.
Vibhisana adalah saudara raja Lańka Ravana. Ia adalah anak dari Rsi Wisrawa dan Dewi
Sukesi. Pada suatu hari Rsi Wisrawa meletakan jabatan dan hidup sebagai
pendeta.
Rsi Wisrawa
bertempat tinggal di pertapaan Girijembat. Silsilahnya diceritakan bahwa
Sanghyang Manikmaya berputra Batara Sambo dari Dewi Umayi sebagai putra sulung.
Empat keturunan kemudian dari Batara Sambo adalah Prabu Darodana. Dan empat
keturunan dari Prabu Darodana ke kiri adalah Rsi Wisrawa putra Rsi Padma,
sedangkan empat grad ke kanan adalah Dewi Lokawati, putri Prabu Lokawana raja
negara Lokapala. Rsi Wisrawa sangat sakti dan termasyur dalam ilmu kasidan. Ia
kemudian di persandingkan dengan Dewi Lokawati. Setelah Prabu Lokawana mangkat,
maka atas perkenan Dewi Lokawati, Rsi Wisrawa kemudian dilantik menjadi raja
Lokapala. Dari perkawinan tersebut lahir seorang lahir seorang putra bernama
Danapati dan setelah dewasa dinobatkan sebagai raja pengganti Prabu Wisrawa
(Suwandono, Dhanisworo dan Mujiyono, tt:510).
Pemerintahan negeri diserahkan kepada anak
kandungnya yaitu Danapati. Suatu ketika Danapati tergila–gila kepada Dewi
Sukesi, putri raja Sumali dari Lańka. Sebagai ayah, Rsi Wisrawa berusaha
melamar puteri idaman hati anaknya itu. Maka pergilah ia ke Lańka seorang diri,
dan mengutarakan maksud kedatangannya itu kepada raja Sumali (Pratikto, 1983:55).
Mendengar hal itu Dewi Sukesi lalu mengajukan sebuah teka–teki tentang Sastra
Jendra Hayuningrat. Rsi Wisrawa
dengan tersenyum menjawab persoalan itu dengan mudah.
Dewi Sukesi adalah putri
Prabu Sumali, setelah dewasa Dewi Sukesi menjadi lamaran para ksatria. Dewi Sukesi tumbuh menjadi perempuan cerdas yang gemar
belajar. Banyak para raja dan pangeran berdatangan untuk mempersuntingnya.
Seorang perwira Lańka bernama Jambumangli tampil mengumumkan sayembara
barangsiapa yang bisa mengalahkan dirinya berhak memperistri Sukesi. Namun
Sukesi sendiri juga menggelar sayembara yaitu ia hanya mau menikah apabila ada
orang yang bisa mengajarinya ilmu Sastrajendra Hayuningrat. Rsi
Wisrawa datang ke Lańka untuk melamar Sukesi menjadi menantunya,
yaitu sebagai istri Danapati raja Lokapala. Sumali yang juga sahabat Wisrawa
menyatakan bahwa sayembara yang digelar Jambumangli tidak sah. Sayembara yang
asli adalah mengajarkan Sastrajendra Hayuningrat. Wisrawa ternyata
menguasai ilmu tersebut namun tidak berani sembarangan mengajarkannya kepada
orang lain. Barang siapa yang mendengarkan sastra tersebut akan memperoleh
pencerahan. Raksasa akan menjadi manusia, sedangkan manusia akan menjadi Dewa.
Sukesi pun meminta agar dirinya diajari ilmu Sastrajendra Hayuningrat Wisrawa
(Suwandono, Dhanisworo dan Mujiyono, tt:428).
Sementara itu para Dewa menjadi sibuk karena
perbuatan Rsi Wisrawa itu. Maka turunlah Dewa Siwa dan Dewa Naradda. Mereka
berusaha menggagalkan ajaran suci itu. Oleh sabda kedua Dewa itu, Rsi Wisrawa
dan Dewi Sukesi mendadak jatuh cinta. Akhirnya mereka memutuskan untuk hidup
bersama sebagai suami istri. Raja Sumali gembira mendengar hal tersebut. Ia
telah lama menginginkan menantu berwatak Brahmana sejati. Namun anaknya Raja
Danapati sangat kecewa. Maka terjadilah pertempuran antara anak dan ayah.
Danapati seorang raja yang sangat sakti. Rsi Wisrawa merasa sangat bersalah dan
sebagai penebusan dosa sebenarnya ia rela mati ditangan anaknya sendiri. Tetapi
Dewa tidak memperkenankan, bahkan Danapati mendapat marah para Dewa, seperti
dikutip dalam buku Herman Pratikto yang berjudul “Hamba sebut Paduka Ramadewa”,
seperti yang diuraian dalam teks, dijelaskan bahwa :
“Kata Dewa, Manusia
tidak berhak mengadili manusia. Lagi pula engkau lahir ke dunia oleh ayahmu.
Seumpama engkau sebatang tanaman, benih–benih ditebarkan oleh ayahmu. Apa
alasanmu hendak melawan ? Itulah dosa yang sebesar–besarnya. Engkau akan hancur
oleh adikmu sendiri. Itulah anak ayahmu yang akan lahir kemudian hari”. Dewa juga
menghukum pekerti Wisrawa karena telah
membuat malu anaknya yang mencintai dan
menghormatinya dengan sepenuh hati. (Pratikto, 1983:57).
Setelah kejadian itu, tidak lama kemudian lahirlah
anak Wisrawa yang pertama dari rahim Dewi Sukesi. Anak itu lahir di tengah
hutan, berwujud gumpalan darah. Dengan amat sedih Rsi Wisrawa memanjatkan ampun
kepada para Dewa. Oleh karena kekuasaan Dewata, segumpalan darah itu menjadi
raksasa. Ia memberikan nama Ravana. Anaknya yang kedua juga berwujud raksasa.
Telinganya sebesar telinga gajah dan diberi
nama Kumbhakarna. Menyaksikan keadaan kedua anaknya itu, Rsi Wisrawa dan
Dewi Sukesi menjadi sangat malu. Seluruh penduduk negeri membicarakan aib
tersebut. Rsi Wisrawa seorang Rsi yang berbudhi luhur dan Dewi Sukesi anak
seorang raja yang bijaksana. Betapa mungkin kedua anak mereka berwujud raksasa
yang menakutkan. Namun dengan penuh
kesungguhan mereka memanjatkan doa siang malam. Berharap dewata menganugerahi
seorang anak yang sempurna. Dewata yang maha pemurah mengabulkan permintaan
mereka. Kali ini lahir seorang anak yang perempuan. Tubuhnya seperti tubuh
manusia, hanya saja berparas raksasa. Kukunya tajam, mengkilat dan mengandung
racun. Rsi Wisrawa memberi nama Surpanakha. Sekali lagi orang membicarakannya
dan mengejeknya. Dengan rasa sesal dan tobat, keduanya memanjatkan doa
bertahun–tahun lamanya. Seperti yang diuraikan dalam teks, dijelaskan bahwa :
Perkawinan Rsi
Wisrawa dengan Dewi Sukesi tiga kali berturut-turut melahirkan putra dan putri
berwujud raksasa. Hal ini menyedihkan hati. Kemudian ia pun bersamadi dengan
tekun memohon kehadirat Dewa agar dianugerahi putra yang berparas mirip dengan
putranya yang lain yaitu Danapati. Permohonan itu akhirnya terkabulkan dan Dewi
Sukesi kemudian melahirkan seorang putra yang berwajah cakap dan diberi nama
Vibhisana” (Suwandono, Dhanisworo dan Mujiyono, tt:481).
Maka lahirlah anak yang keempat, seorang satria
rupawan tanpa cacat, keningnya berkilat menyimpan cahaya rahasia. Rsi Wisrawa
dan Dewi Sukesi bergembira sekali hatinya. Anak ini diberi nama Vibhisana. Rsi
Wisrawa memberi anugerah, semoga anak ini berwatak Brahmana sejati. Berani
mempertahankan pendirian, dan bersedia mengorbankan apa saja demi membela
kebenaran. Berwatak Brahmana sejati, semoga ini sabda hidup. Setelah dewasa,
Vibhisana disuruh pergi bertapa sampai Dewata menurunkan anugerah. Lahirnya
tiga anak yang berwujud raksasa itu adalah hukuman para Dewa akibat pernikahan
yang terlarang dan membuka ilmu rahasia alam semesta, sehingga membuat mereka
lupa diri. Anak-anak mereka lahir dari nafsu, akibat perkawinan yang tidak
suci, bibit keturunan pun membawa kutukan dari isi ilmu tersebut.
Dalam buku
Ensiklopedi Wayang Purwa 1 (Compendium) disebutkan bahwa Vibhisana dalam
tradisi pewayangan jawa bernama Arya Vibhisana.
“Arya Vibhisana
adalah putra bungsu Rsi Wisrawa dengan Dewi Sukesi, putri prabu Sumali, raja
Alengka. Arya Vibhisana adalah satu–satunya putra yang berwujud manusia
diantara ketiga saudara sekandungnya, yaitu Prabu Dasamuka/Ravana, Arya
Kumbhakarna dan Dewi Surpanakha yang kesemuanya berwujud raksasa/raksasi. Arya
Vibhisana adalah titisan Rsi Wisnu Anjali, oleh karena itu ia sangat bijaksana.
Mempunyai tempat bersemayam di kesatriyan Utarapura, yang terletak di sebelah
utara keraton Lańka bernama Kuntara. Rsi Wisnu Anjali
adalah kerabat Batara Wisnu yang berkewajiban membina kesejahteraan di dalam
lingkungan para pendeta. Pada jaman Lokapala menjelma dalam diri Rsi Dasarata,
pada jaman Ramayana manuksma dan bersatu dengan Arya Vibhisana, putra Dewi
Sukesi dengan Rsi Wisrawa dan saudara muda dari Prabu Ravana raja Lańka
dan jaman Bharata, sejiwa dan manuksma
di dalam diri Rsi/Begawan Kesawasidi yang merupakan kerabat Dewa Wisnu
(Suwandono, Dhanisworo dan Mujiyono, tt:481).
Keangkaramurkaan kini telah merasuk pada anak yang
pertama yaitu Ravana. Sehingga akan menjadi sumber kehancuran wangsanya dan
negara. Dalam buku cupu manik astagina disebutkan bahwa, dialog antara Sang
Hyang Wenang dan Naradda, saran dari Sang Hyang Wenang untuk menghalagi atau
menaklukan sifat keangkaramurkaan yang terkandung pada anak Rsi Wisrawa dan
Dewi Sukesi itu. Dikutip dari buku Cupi Manik Astagina, dijelakan bahwa :
“Sang Hyang
Wenang menuturkan bahwa untuk menaklukan sifat kotor dari anak pertama Wisrawa
dan Sukesi itu, aku diharuskan berputra lagi dari seorang putri makhluk
marcapada. Nantinya anakku yang akan dilahirkan itulah yang akan melenyapkan
sifat keangkaramurkaan di dunia. Namun anak itu tidak serta merta melakukan
tugasnya sendiri, namun harus didampingi oleh Batara Wisnu yang akan menitiskan
dirinya kepada manusia. Mereka berdualah yang kelak akan dapat menaklukan
sumber kekacauan ini”. (Ardian Kresna, 2012:109).
Dari penjelas tersebut, bahwa nanti yang akan
menumpas keangkaramurkaan Ravana adalah adiknya yaitu sekutu dari Vibhisana yang merupakan anak ilahi dari Dewa
Brahma dan Rama yang merupakan reinkarnasi dari Dewa Wisnu. Ketika dharma di injak–injak dan adharma semakin merajalela, maka
Tuhan akan turun kedunia menyelamatkan umat manusia dari kehancuran. Dengan
wujud tertentu dan kembali menegakan dharma yang sudah menyimpang.
Anugerah Dewa Brahma
Selama tiga
tahun Rsi Wisrawa dan Dewi Sukesi menimang-nimang anaknya. Setelah itu,
disuruhlah anak-anaknya pergi bertapa sampai Dewata menurunkan karunia. Akibat
tapa hebat yang sedang dilakukan oleh anak–anak Rsi Wisrawa dan Dewi Sukesi
tersebut terdengarlah suara yang menggelegar dari Kawah Candradimuka di Gunung
Mahameru. Sehingga turunlah para Dewa ke marcapada. Dilihatlah anak–anak dari Rsi
Wisrawa dan Dewi Sukesi yaitu Ravana, Kumbhakarna, Surpanakha dan Vibhisana.
Dewa Brahma lalu mendatangi mereka satu persatu. Tapa mereka pun dibangunkan oleh
Dewa Brahma (Kresna, 2012:110). Dalam
buku Cupu Manik Astagina dijelaskan :
“Pertama
Dewa Brahma membangunkan Vibhisana, wajah anak ini sangat tampan dan tenang. “Anak
muda, apa yang kamu inginkan dari tapamu ini ? Vibhisana menjawab, yang aku
inginkan hanyalah kenyamanan dan keamanan dunia sehingga kehidupan manusia dan
makhluk–makhluk hidup lain dimuka bumi ini menjadi tenang dan damai dan Dewa
Brahma tersenyum mendengar permintaan Vibhisana.” Anak muda yang budiman,
keinginan itu sangat luhur. Namun cita–cita itu sangat sulit diwujudkan
dikarenakan cara berpikir tiap makhluk berbeda–beda. Sehingga hasrat dan
keinginannya pun berbeda–beda. Akibatnya akan sering menimbulkan pertentangan
antara yang satu dengan yang lainnya. Perbedaan itulah yang akan menimbulkan kekacauan.
Meskipun begitu, cita–cita luhurmu itu akan aku penuhi meskipun nantinya kau
harus berjuang keras untuk menghalangi segala sifat ketamakan
dan kejahatan yang akan mengelilingi
jalan hidupmu sendiri. Asalkan kau teguh dengan keinginan itu, maka
kelak kedamaian dunia akan dapat kau wujudkan meskipun pengorbanannya begitu
besar dan berat. Apa kau sanggup menjalaninya
? Vibhisana menjawab, aku akan berjuang sekuat tenaga untuk mewujudkan keadilan
dan kebenaran demi kenyamanan dan keamanan kehidupan di dunia ini. Dewa Brahma sungguh sangat senang mendengar hal tersebut.
Sehingga Vibhisana diberi anugerah sikap kelembutan dari tutur kata yang dapat
mempengaruhi orang lain untuk berbuat baik dan menghindari kejahatan yang akan
dilakukan” (Kresna, 2012:113-114).
Karakter Vibhisana mirip dengan Prahlada yang dilahirkan sebagai
keturunan asura, namun menjadi pemuja Dewa Wisnu yang setia. Vibhisana
menghabiskan masa mudanya dengan bertapa dan memuja Dewa Wisnu. Ketika Ravana dan
Kumbhakarna bertapa memuja Brahma, Vibhisana juga berbuat demikian. Saat Dewa
Brahma memberi kesempatan kepada Vibhisana untuk memohon anugerah, Vibhisana
meminta agar ia selalu berada di jalan kebenaran atau dharma. Sikapnya tidak
seperti kakaknya yang meminta kekuatan untuk menaklukkan para Dewa. Selanjutnya
Dewa Brahma membangunkan tapa dari Surpanakha. Dewa Brahma bertanya, apa yang
kau inginkan dari tapamu itu ? Surpanakha menjawab, aku ingin selalu
mendapatkan kesenangan dengan daya kekuatanku. Apapun yang aku inginkan dapat
terkabulkan agar aku senang. Dewa Brahma mengabulkan permintaan Surpanakha
untuk mendapatkan kesenangan dunia, seperti yang dia inginkan. Namun sifat
wanita raksasa ini akan senantiasa bergelimang dengan hasrat dan nafsu keinginan
duniawi (Kresna, 2012:117).
Setelah Vibhisana dan Surpanakha mendapatkan
anugerah, Dewa Brahma lalu menemui Kumbhakarna. Badannya yang besar menjadikan
Kumbhakarna sosok yang menakutkan. Dewa Brahma
muncul karena berkenan dengan pemujaan yang mereka lakukan. Saat tiba giliran
Kumbahkarna untuk mengajukan permohonan, Dewi Saraswati
masuk ke dalam mulutnya untuk membengkokkan lidahnya, maka saat ia memohon "Indraasan" yang berarti tahta
Dewa Indra, namun yang ia ucapkan adalah "Neendrasan" yang berari tidur abadi. Brahma
mengabulkan permohonannya. Karena merasa sayang terhadap adiknya, Ravana
meminta Dewa Brahma agar membatalkan anugerah tersebut. Brahma tidak berkenan
untuk membatalkan anugrahnya, namun ia meringankan anugrah tersebut agar
Kumbhakarna tidur selama enam bulan dan bangun selama satu hari. Pada saat ia
menjalani masa tidur, ia tidak akan mampu mengerahkan seluruh kekuatannya.
Brahma mengutuk Kumbhakarna bahwa dia akan tidur
seakan-akan dia mati. Namun Ravana memohon agar jangan mengutuk Kumbhakarna
dengan kutukan seperti itu. Hingga akhirnya Dewa Brahma meringankan kutukan,
bahwa Kumbhakarna akan tidur selama enam bulan dan akan bangun selama satu
hari. Satu hari bangun itu, dia akan makan binatang sebanyak mungkin dan dia
akan seperti hutan api jika dia lapar.
Dewa Brahma lalu menemui putra sulung Rsi Wisrawa
dan Dewi Sukesi yaitu Ravana. Dewa Brahma bertanya, apa yang kau inginkan dari
tapamu ini ? Ravana menjawab, aku ingin menjadi orang paling sakti di dunia dan
memiliki umur panjang. Kalau tidak dikabulkan oleh para Dewa, maka aku akan
terus bertapa di sini sampai permohonanku benar–benar dikabulkan. Setelah cukup
lama merenung, akhirnya Dewa Brahma pun menyutujui keinginan raksasa muda itu.
Saran dari Dewa Brahma, ilmu sakti yang diberikan itu bukanlah digunakan sebagai
alat kejahatan (Kresna, 2012:122). Setelah mendapatkan anugerah, Dewa Brahma
berpesan bahwa gunakanlah kesaktian sebagai penjaga diri dari ancaman yang akan
mencelakakanmu. Ravana pun melonjak–lonjak kegirangan setelah cita–cita
dikabulkan oleh Dewa. Dikutip dalam buku Hamba Sebut Paduka Ramadewa,
dijelaskan bahwa :
“Tiga tahun
lamanya Ravana bertapa, tetapi Dewa yang diharapkan akan memberikan karunia
tidak kunjung datang. Maka diadakanlah suatu persembahan yang istimewa. Setiap
tahun ia memenggal kepalanya sendiri dan diletakan di atas batu, kemudian memekikan
doa himbauan senyaring–nyaringnya. Ia rela mati oleh tangannya sendiri dari
pada hidup berkepanjangan tiada arti. Pada tahun kedua belas ketika ia hendak
memotong kepalanya yang terakhir, di saat itu Dewa Kalaludra turun ke bumi
karena kagumnya menyaksikan tekad yang penuh pengorbanan itu. “katakan padaku,
apa kehendakmu !” tegur Hyang Kalaludra. Dengan sujud sembah, Ravana mengatakan
keinginannya. Pertama, ia ingin menjadi raja besar tiada bandingannya.
Menguasai darat, laut dan udara. Kedua, ia ingin sakti tiada lawan. Kuasa
mengalahkan para Aditya dan Dewa. Karena bersungguh–sungguh, permohonannya
dikabulkan. Watak yang keras membaja itu akan membuat setiap keinginannya akan
terkabulkan. Ravana girang bukan kepalang. Tiba–tiba kepalanya berjumlah
sepuluh dan utuh kembali seperti semula. Kejadian itu membuat ia menepuk dada
seperti sikap menantang semua yang ada di sekelilingnya” (Pratikto, 1983:59–60).
Setelah masing–masing dari anak Rsi
Wisrawa dan Dewi Sukesi mendapat anugerah lalu mereka datang ke Lańka. Sungguh
perjuangan yang luar biasa karena mereka semua mendapatkan anugerah yang mereka
inginkan. Setiap anugerah yang diberikan memiliki kelebihan dan kekurangan
masing–masing, tergantung bagaimana mereka nantinya menggunakan anugerah
tersebut.
Karma
memengaruhi Karakter Vibhisana
Kata karma berasal dari
bahasa Sansekerta dari urat kata “kr”
artinya melakukan yang menyatakan sebuah tindakan yang membawa hasil dalam
kehidupan sekarang atau dikehidupan yang akan datang (Pandit, 2006:71). Dalam
slokantara dijelaskan bahwa :
Karmaphala
ngaran ika
Phalaning gawe
hala hayu
Terjemahan
:
Karmaphala
artinya akibat (pahala) dari buruk (suatu) perbuatan (karma). Subhaasubha karma
(subhasubha prawrtti)
(Rai
Putra, Jelantik dan Argawa, 2013:116)
Baik
buruknya perbuatan akan membawa akibatnya, baik saat ini atau akhirat nanti.
Karmaphala mengajarkan untuk percaya bahwa perbuatan baik akan berphala baik
dan perbuatan buruk, buruk pula pahalanya. Karakter tidak saja dipengaruhi oleh
lingkungan, tetapi karakter juga dipengaruhi oleh karma. Karma ini adalah sifat
masa lalu yang berpengaruh terhadap kehidupan sekarang. Jika dahulu karmanya
baik dan suka menolong, tetapi mengalami punarbhawa maka pada kehidupan yang
sekarang akan menjadi orang baik, suka menolong dan dharma selalu menjadi
tuntunan dalam hidup.
Vibhisana
adalah reinkarnasi dari seorang Rsi agung dan mulia, sehingga Vibhisana
bagaikan permata dalam lingkungan negeri Lańka.
Dalam buku Ensiklopedi Wayang Purwa 1 (Compendium), seperti uraian teks,
dijelaskan bahwa :
Arya Vibhisana
adalah titisan Rsi Wisnu Anjali, oleh karena itu ia sangat bijaksana. Rsi Wisnu
Anjali adalah kerabat Batara Wisnu yang berkewajiban membina kesejahteraan di dalam
lingkungan para pendeta. Pada jaman Lokapala menjelma dalam diri Rsi Dasarata,
pada jaman Ramayana manuksma dan bersatu dengan Arya Vibhisana, putra Dewi Sukesi
dengan Rsi Wisrawa dan saudara muda dari Prabu Ravana raja Lańka
dan Jaman Bharata, sejiwa dan manuksma di dalam diri Rsi/Begawan Kesawasidi yang
merupakan kerabat Dewa Wisnu (Suwandono, Dhanisworo dan Mujiyono, tt:481).
Dari uraian teks tersebut, dapat mempertegas bahwa
karakter Vibhisana itu dipengaruhi oleh karma kehidupan terdahulu. Pada
kehidupan terdahulu, Vibhisana adalah seorang pendeta agung yang bertugas
membina kesejahteraan di lingkungan para pendeta. Ketika Vibhisana lahir pada
jaman Treta Yuga, Vibhisana berusaha untuk menjalankan tugasnya sebagai seorang
ksatria yang berkarakter pendeta. Vibhisana memang sudah berbeda dari sejak
lahir hingga dia tumbuh dewasa. Walau tempat Vibhisana tinggal adalah
lingkungan para raksasa, namun karena keteguhan dan sifat-sifat khasnya yang
sudah dibawa sejak lahir, menyebabkan Vibhisana tidak terpengaruh oleh
lingkungannya. Karma seseorang terdahulu akan dapat mempengaruhi karakternya
pada kehidupan sekarang atau pada masa yang akan datang. Sehingga akan selalu
terikat oleh karma-karma terdahulu, sekarang dan akan datang. Adapun
jenis-jenis karmaphala yaitu :
1. Sancita
Karmaphala adalah pahala perbuatan pada kehidupan terdahulu yang belum habis
dinikmati dan masih merupakan benih yang bisa menentukan perjalanan hidup
sekarang.
2. Prarabda
Karmaphala adalah perbuatan pada kehidupan sekarang dan pahala akan diterima
pada kehidupan sekarang pula.
3. Kriyamana
Karmaphala adalah perbuatan yang tidak langsung dinikmati pada masa sekarang,
tetapi pahalanya dari perbuatan tersebut akan diterima pada masa yang akan
datang.
Dari karma-karma terdahulu menyebabkan seseorang
lahir dengan karakter-karakter yang berbeda-beda. Ada yang lahir dengan sifat
Daiva dan ada yang lahir dengan sifat Asura. Karakter Ravana dan Kumbhakarna
juga dipengaruhi oleh karma terdahulu. Dalam Srimad Bhagavatam diceritakan,
ketika Catursana yaitu Sanaka, Sananda, Sanatana dan Sanatkumara pergi ke
Waikunta yang dipercaya sebagai tempat Narayana dengan keinginan untuk memuja
beliau. Mereka melalui enam gerbang dalam keadaan tergesa-gesa, namun para Rsi
dicegah oleh Jaya dan Wijaya yang merupakan penjaga pintu Waikunta. Akibatnya
para Rsi menjadi marah dan mereka mengutuk Jaya dan Wijaya. Seperti yang
diuraikan dalam teks, dijelaskan bahwa :
Kami dapat
melihat bahwa posisimu di sisi Tuhan telah menjadikan kalian berdua sombong.
Kami mengutuk kalian untuk meninggalkan Narayana. Kalian akan lahir sebagai
manusia yang dikuasai oleh kama, kroda, mada dan semua kejahatan lain
(Subramaniam, 2006:65).
Kesombongan akan membawa kehancuran dan kutukan,
kutukan tersebut harus dijalani sebagai sebuah hukuman akibat perbuatan yang
melanggar aturan. Mereka berdua diberi dua pilihan oleh Dewa Wisnu jika hidup di dunia, yaitu sebagai
pemuja Wisnu selama tujuh kehidupan atau sebagai musuh Dewa Wisnu selama tiga
kehidupan. Karena Jaya dan Wijaya ingin singkat menjalani hidup di dunia, maka
mereka lebih memilih untuk menjalani hidup sebagai musuh Dewa Wisnu. Selama
Jaya dan Wijaya bereinkarnasi ke dunia dan menjalani karmanya, mereka selalu
dibunuh oleh awatara Dewa Wisnu. Pada masa Satya Yuga, Jaya dan Wijaya lahir
sebagai Hiranyaksa dan Hiranyakasipu, putra Diti dan Kasyapa. Hiranyaksa
dibunuh oleh Waraha awatara, sedangkan Hiranyakasipu dibunuh oleh Narasinga
awatara. Pada masa Treta Yuga, Jaya dan Wijaya lahir kembali sebagai Ravana dan
Kumbhakarna, putera Wisrawa dan mereka dibunuh oleh Rama awatara. Pada masa
Dwapara Yuga, mereka lahir sebagai Sisupala dan Kamsa dan keduanya dibunuh oleh
Kresna. Setelah mereka menjalani hukuman karma, Jaya dan Wijaya kembali ke
Waikunta.
Dari kisah Jaya dan Wijaya tersebut, maka dapat
mempertegas bahwa karma terdahulu sangat berpengaruh terhadap karakter
kehidupan kini dan kehidupan masa yang
akan datang. Kelahiran dari yang
berwujud raksasa Hiranyakasipu menjadi Ravana lalu menjadi Sisupala, ini adalah
sebuah proses, Hiranyakasipu adalah raksasa, Ravana juga berwujud raksasa,
tetapi sudah lebih baik karena mempelajari Veda sedangkan Sisupa adalah manusia
sempurna hanya saja mereka semua harus mati ditangan Dewa Wisnu. Tidak ada yang terbebas
dari ikatan karma, sehingga berbuatlah yang baik, jalani kehidupan dengan penuh
rasa kasih dan mengamalkan ajaran agama yang merupakan sumber dari segala
kebenaran. Sehingga nantinya terhindar dari karmaphala buruk dan menyiksa. Dari
karma yang mempengaruhi karakter Vibhisana ini, dapat diambil hikmahnya, bahwa
ketika istri hamil, suami harus berdoa untuk keselamatan istri dan jabang bayi
agar anaknya benar-benar merupakan anugerah dari Sang Hyang Widhi bukan anak
yang lahir dari sekedar nafsu. Jangan sampai yang lahir adalah keturunan yang
bermasalah yang mengakibatkan penderitaan bagi keluarga.
Vibhisana
Lahir dari Yadnya
Yadnya berasal dari Bahasa Sansekerta dari akar
kata “Yaj” yang artinya memuja. Secara etimologi pengertian yadnya adalah
korban suci secara tulus ikhlas dalam rangka memuja Hyang Widhi. Pada masa penciptaan
alam Sang Hyang Widhi dalam kondisi Nirguna Brahman (Tuhan dalam wujud tanpa
sifat) melakukan tapa menjadikan diri beliau Saguna Brahma (Tuhan dalam wujud
sifat Purusha dan Pradhana). Dari proses ini, bahwa penciptaan awal dilakukan
dengan yadnya yaitu pengorbanan diri Sang Hyang Widhi dari Nirguna Brahman
menjadi Saguna Brahman. Selanjutnya semua alam diciptakan secara evolusi
melalui Yadnya. Dalam Bhagawadgita Bab III, sloka 10 disebutkan :
saha-yajnāh prajāh srstvā
purovāca prajāpatih
anena prasavisyadhvam
esa vo ‘stv ista-kāma-dhuk
Terjemahan
:
Sesungguhnya sejak dahulu dikatakan, Tuhan
setelah menciptakan manusia melalui yadnya, berkata dengan (cara) ini engkau
akan berkembang, sebagaimana sapi perah yang memenuhi keinginanmu (sendiri)
Pudja, 2004:84.
Dari satu sloka tersebut, jelas bahwa
manusia saja diciptakan melalui yadnya, maka untuk kepentingan hidup dan
berkembang serta memenuhi segala keinginannya semestinya dengan yadnya. Manusia
harus berkorban untuk mencapai tujuan dan keinginannya. Yadnya memiliki tiga
manfaat, yaitu :
1.
Menjamin
ketenteraman bagi manusia melalui anugerah Dewa selama hidup di dunia;
2.
Untuk
hidup bahagia setelah kematian di alam para Dewa;
3.
Yadnya
sebagai kewajiban bagi ketenteraman dunia dan tanpa memikirkan keuntungan diri
sendiri.
(Saraswati, 2009:40)
Setiap pasangan suami istri pasti
menginginkan untuk mempunyai keturunan yang sempurna. Oleh karena itu,
seyogyanya melaksanakan yadnya sebagai bentuk sujud dan bakti kehadapan Sang
Hyang Widhi. Karena seorang anak adalah hadiah terbesar yang diberikan oleh
Sang Hyang Widhi, sehingga pelaksanaan yadnya sebagai bentuk rasa terimakasih
kepada-Nya. Kelahiran Vibhisana karena yadnya dari Rsi Wisrawa dan Dewi Sukesi.
Untuk mendapatkan keturunan yang berwujud manusia sejati, diperlukan sebuah
korban suci secara tulus ikhlas. Karena Kesempurnaan dan kebahagiaan tidak
mungkin akan tercapai tanpa ada pengorbanan. Diibaratkan bahwa diri manusia itu
tidak ubahnya seperti lembu perah yang akan diperah terus menerus untuk
memenuhi keinginan yang timbul pada diri manusia itu sendiri.
Sebagaimana Tuhan menciptakan manusia
melalui yadnya, demikian pula manusia harus beryadnya untuk memperoleh segala
keinginan, termasuk untuk memperoleh keturunan. Contoh sederhana bila memiliki
secarik kain dan berniat untuk menjadikannya sepotong baju, maka kain yang utuh
tersebut harus direlakan untuk dipotong sesuai dengan pola yang selanjutnya
potongan-potongan tersebut dijahit kembali sehingga berwujud baju. Sedangkan
potongan yang tidak diperlukan tentu harus dibuang. Jika bersikukuh tidak rela
kainnya dipotong dan dibuang sebagian, maka sangat mustahil akan memperoleh
sepotong baju.
Dari gambaran sederhana tersebut dapat diambil kesimpulan bahwa demi mencapai kebahagiaan dan kesempurnaan hidup maka harus rela berkorban. Tentu saja pengorbanan ini harus dilandasi rasa cinta, tulus dan ikhlas. Tanpa dasar tersebut maka suatu pengorbanan bukanlah yadnya.
Dari gambaran sederhana tersebut dapat diambil kesimpulan bahwa demi mencapai kebahagiaan dan kesempurnaan hidup maka harus rela berkorban. Tentu saja pengorbanan ini harus dilandasi rasa cinta, tulus dan ikhlas. Tanpa dasar tersebut maka suatu pengorbanan bukanlah yadnya.
Vibhisana Sebagai Simbol Sattwam
Dalam
membaca mahakarya Ramayana, bukan saja tokoh Sri Rama saja yang menarik, tetapi
juga tokoh-tokoh Ravana, Kumbhakarna, Surpanakha dan Vibhisana. Mereka adalah
tokoh bersaudara tetapi yang sangat menarik dan menjadi perhatian, karena
mereka memiliki dasar-dasar pemikiran yang berbeda dan karakter yang berbeda. Menurut
pemikiran timur, sifat manusia dapat dibagi ke dalam tiga kualitas. Setiap
orang memiliki ketiganya dalam derajat yang berbeda. Namun setiap individu
didominasi oleh satu dari ketiganya yang mempengaruhi dan mengarahkan tingkah
lakunya (Madrasuta, 2013:25).
Sifat sattwam
yakni sifat tenang, suci, bijaksana, cerdas, terang, tenteram, waspada,
disiplin, ringan dan sifat-sifat baik lainnya. Orang yang dikuasai oleh sifat
sattwam biasanya berwatak tenang, waspada, dan berhati yang damai serta welas
asih. Kalau mengambil keputusan akan ditimbang terlebih dahulu secara matang,
kemudian barulah dilaksanakannya.Segala pikiran, perkataan, dan perilakunya
mencerminkan kebijaksanaan dan kebajikan, seperti tindakan sang Yudistira dan sang
Krishna dalam cerita Mahabharata, dan tindakan sang Rama dan Vibhisana dalam
cerita Ramayana. Keadaan sattwam adalah kesenangan diperintah oleh tindakan
yang dituntut oleh pengetahuan dan kebijaksanaan. Seseorang bertindak dengan
tujuan pasti adalah dia mengerti bahwa hadiah terdalam dari tindakan adalah kebahagiaan
karena tindakan itu sendiri (Madrasuta, 2013:257).
a. Sattwam
dalam filsafat Samkhya
Pokok ajaran filsafat Samkhya ialah ajaran tentang
Purusa dan Prakerti yaitu asas rohani
dan bendani. Dari keduanya ini terciptalah alam semesta dengan isinya (Sumawa
dan Krisnu, 1995:139). Di dalam filsafat Samkhya, dalam Prakerti ada tiga guna.
Prakerti dibangun oleh tri guna yaitu sattwam, rajas dan tamas. Purusa adalah
tidak terikat, ia merupakan kesadaran, meresapi segalanya dan abadi. Karakter
suatu mahluk ditentukan oleh tri guna. Sattwam adalah keseimbangan, bila
sattwam yang berkuasa maka akan terjadi kedamaian dan ketenangan. Rajas adalah aktivitas yang menyebabkan suka
da tidak suka, menarik dan benci. Tamas adalah yang membelenggung hingga muncul
kelesuan dan kemalasan. Salah satu guna ini biasanya lebih berpengaruh pada
orang yang berbeda-beda, sehingga muncul karakter yang berbeda-beda pula.
Seseorang yang dikuasai sifat sattwam akan
berkarakter bijaksana, cenderung menjalani kehidupan yang murni, suci, mulia
dan memiliki sifat kedewataan. Sifat sattwam ini banyak dimiliki oleh
orang-orang yang bijak atau orang suci. Dalam filsafat samkhya ada dua
perubahan bentuk tri guna yaitu wirupa parinama dan swarupa parinama.
1. Wirupa Parinama
Wirupa parinama
adalah disaat guna yang satu menguasai guna yang lain dan bekerja sama, maka
terjadilah penciptaan (Sumawa dan Krisnu, 1995:141). Ketika wirupa parinama
yang mempengaruhi dan Ravana, Kumbhakarna, Surpanakha dan Vibhisana, mereka
masih bertukar pikiran, maka Lańka menjadi sangat kuat, tidak bisa dikalahkan.
Ketiganya saling memengaruhi dan mereka bersinergi, maka mereka akan menjadi sakti. Jika Ravana
mau mendengarkan Vibhisana maka mereka tidak akan pernah terkalahkan dan apapun yang diinginkan pasti akan tercapai.
Andai saja Vibhisana tidak usir oleh Ravana, Rama dan pasukan wanara akan
kesulitan mengalahkan pasukan Ravana.
Ketika sattwan
memihak kepada sattwam dan tidak lagi bergabung dengan rajas, maka pihak
kebenaran ada di sattwam. Karena yang menjadi pengendali dari rajas adalah
sattwam. Ibarat mobil dengan perangkatnya yaitu setir, gas dan rem. Setir
melambangkan sattwam, gas melambangkan rajas dan rem melambangkan tamas. Tanpa
adanya setir sebagai pengendali pengemudi, gas akan kehilangan arah dan tidak
terkontrol. Demikian pula dengan Vibhisana yang bertugas sebagai penasehat
raja, namun diusir dan dipermalukan oleh raja Ravana. Akibat diusirnya
Vibhisana, dia memihak kepada Rama dan menjadi penasehat. Vibhisana memberi
nasehat ketika Rama dililit oleh nagapasa milik indrajit.
Dengan
bergabungnya Vibhisana, menyebabkan Rama mengetahui kelemahan para raksasa. Ketika
indrajit melepaskan nagapasa, tidak akan yang bisa menolong kecuali Vibhisana
yang memberi tahu obat lataosadi. Andai kata Vibhisana tidak bisa diusir, maka
indrajit tidak bisa dikalahkan. Vibhisana memberi informasi Hanoman untuk
melihat dan mengganggu ritual indrajit ketika memohon kesaktian kepada Dewi
Kali. Ini bukti yang mempertegas bahwa, ketika sattwan, rajas dan tamas tidak
bersatu pasti kehancuran yang akan terjadi. Membenarkan perbuatan yang
dilakukan oleh Vibhisana dan ini semua adalah rekayasa Sang Hyang Widhi. Hanoman melihat yaga nikumbhila
Indrajit, menyebabkan ritual kepada Dewi
Kali tidak berhasil. Hal ini sama dengan teori pengleakan di Bali. Ketika ada
orang yang mau ngeleak tetapi dilihat oleh manusia menyebabkan kekacauan dan
proses pengleakannya tidak sempurna. Dengan demikian, sattwam, rajas dan tamas
harus bersinergi, jika tidak bersatu maka akan menyebabkan kehancuran, seperti
yang dialami oleh Ravana dan para raksasa.
2. Swarupa
Parinama
Swarupa parinama
adalah pada waktu pralaya, masing-masing guna berdiri sendiri (Sumawa dan
Krisnu, 1995:141). Ketika sattwam, rajas dan tamas, masing-masing berdiri
sendiri maka akan terjadi kehancuran dan disebut dengan swarupa parimana.
Seperti halnya, Ravana yang melambangkan rajas, Kumbhakarna melambangkan tamas
dan Vibhisana yang melambangkan sattwam, karena terjadi perbedaan pendapat dan
perselisihan menyebabkan kehancuran. Vibhisana diusir dari negerinya sendiri.
Vibhisana berbeda karakter dengan saudara-saudaranya, karena memang proses
lahir Vibhisana berbeda dengan saudara-saudaranya. Ravana lahir dari nafsu,
Vibhisana lahir dari tapa dan permohonan. Memohon agar mempunyai anak yang
daivi sampat, artinya anak yang bersifat dewata dan mulia. Dari nafsu lahirlah
Ravana, kemudian berkurang nafsunya, lahirlah Kumbhakarna, kemudian memohon
lagi dan meningkat kualitasnya. Ibarat menyaring air, dari keruh makin jernih
dan jernih. Baru yang terjernih adalah Vibhisana. Dengan tapa dan permohonan
dari Wisrawa, Dewa Brahma mendengarkan dan akhirnya diberikan anak yang
benar-benar berparas tampan dan berkarakter sattwam.
Ketika svarupa parinama, kecenderungan
masing-masing guna berputar dan bergerak pada diri sendiri. Di mana Ravana pada
egonya, Kumbhakarna tidur dan bermalas-malasan, nasehat Vibhisana tidak
didengar oleh Ravana dan mereka semua berdiri sendiri, menyebabkan semuanya
hancur. Demikian juga tri guna dalam diri manusia. jika sattwam, rajas dan
tamas berdiri sendiri atau tidak saling
mempengaruhi maka akan terjadi kiamat atau kematian. Rajas tidak ada, maka
angin tidak akan bergerak menyebabkan manusia akan mati. Tamas tidak ada maka
tidak akan ada yang tidur dan dunia selalu sibuk dan sattwam tidak ada, maka
tidak akan ada kebaikan di dunia ini.
Ravana tidak mendengarkan nasehat Vibhisana dan Kumbakharna tidur maka terjadi
kehancuran. Sattwan sudah tidak ada, andai saja Vibhisana masih ada di Lańka,
maka akan sangat sulit untuk mengalahkan para raksasa. Vibhisana
adalah simbol sattwam, sattwan sudah berusaha masuk ke rajas, supaya sattwam
dan rajas ini bisa bersatu. Tetapi rajas tidak menerima dan akhirnya terjadi
svarupa parinama.
b.
Sattwam dalam Wrhaspati-Tattwa
Wrhaspati-Tattwa
adalah salah satu lontar yang bercorak siwaistik yang ajarannya bersumber dari
Veda. Dalam Wrhaspati-Tattwa dijelaskan, kekuatan Tuhanlah yang menggerakan mayatattva dan timbulah pradhanatattva, yang merupakan
perwujudan maya yang hampa yaitu alam tidak sadar. Tuhan menggabungkan atmatattva dan pradhanatattva. Atman lenyap dan menjadi tidak sadar. Ia menjadi acetana karena ia tidak merasa dimasuki
oleh pradhanatattva. Itulah yang
menyebabkan ketidaksadaran atman, sedangkan pradhanatattva
digerakan oleh kekuatan Tuhan (kriyasakti) dan melahirkan tri guna, yaitu
sattwam, rajas dan tamas (Putra dan Sadia, 1998:16).
Tri guna mewarnai pikiran manusia, sehingga akan berpengaruh
terhadap perkataan dan perbuatan. Dalam Wrhaspati-Tattwa sloka 15 dan 16
dijelaskan :
Ikang citta mahangan māwa, yeka
sattwa ngaranya, ikang madêrês molah, yeka rajah ngaranya, ikang abwat pêtêng, yeka
tamah ngaranya
Terjemahan
:
Sattwam
bersifat terang dan bersinar, rajas berubah-ubah, tamas berat dan kabur. Ketiga
sifat itulah yang mempengaruhi pikiran. Pikiran yang terang dan jernih disebut
sattwam. Pikiran yang selalu berubah-ubah disebut rajas dan pikiran yang berat dan keruh disebut tamas (Putra dan Sadia, 1998:15).
Ikang ambêk
duga-duga drêdha, maso
ta ya wruh ta ya ri palenan ing wastu lawan maryada, wruh ta yeng Iswaratattwa,
widagdha ya, mamanis ta ya denyan pamêtwakên wuwusnya, mahalêp pindakarāny awaknya, yeka laksana ning citta sattwika
Terjemahan
:
Kejujuran,
kebebasan, kelembutan, kekuatan, keagungan, ketangkasan, kehalusan dan
keindahan adalah sifat-sifat pikiran sattvika. Pikiran jujur dan teguh dapat
membedakan antara benda dan batas-batasnya, memiliki pengetahuan tentang Iswara-tattwa,
pandai menunjukan kelembutan dalam berbicara, memiliki bentuk badan yang indah,
merupakan sifat pikiran sattwika. (Putra dan Sadia, 1998:16).
Vibhisana
mewakili diri yang sudah sadar, bahwa kakak-kakaknya Ravana, Kumbhakarna dan
Surpanakha adalah saudara dalam kehidupan kini. Vibhisana mengasihi
kakak-kakaknya, akan tetapi dia lebih memilih dharma, kebenaran yang nyata dan
abadi. Wujud kakak-kakaknya hanya sementara di dunia, yang belum tentu
dikenalnya dikehidupan sebelumnya maupun yang kehidupan yang akan datang.
Dalam ajaran tri guna, Vibhisana melambangkan Sattwam,
berbeda dengan kakak-kakaknya yang mewakili rajas, tamas dan kama. Ravana mewakili ego yang hanya
memikirkan diri pribadi, termasuk menculik Sita dengan menggunakan segala cara
dan mempertahankannya dengan kekuasaan. Bahkan mengorbankan rakyat dan negara
demi kesenangan pribadi, dalam ajaran tri guna, Ravana melambangkan Rajas.
Ketika Ravana dipengaruhi oleh kama dan mada, itu adalah awal dari
kehancurannya dan itulah sebab kebinasaannya. Surpanakha adalah lambang dari
kama (nafsu). Surpanakha adalah penyebab diculiknya Sita, karena informasi
keberadaan Sita berasal dari Surpanakha, seperti dalam uraian teks dijelaskan :
“Rama memiliki istri bernama Sita,
“ia amat cantik” ucap Surpanakha. Aku pikir kesempurnaan wanita ini akan
menjadi ideal jika menjadi milikmu. Dadamu yang perkasa adalah tempat bersandar
untuk tangannya yang lembut. Ketika aku berusaha menangkapnya untuk membawanya padamu sebagai hadiah, pada
saat itulah Laksmana melakukan penghinaan dengan melukai dan membuatku cacat
seumur hidup” (Subramaniam, 2003:59).
Jika
berpikir lebih dalam, siapa sebenarnya musuh-musuh yang paling kuat dalam hidup
ini ? ternyata musuh itu adalah pikiran yang tercemar. Ketika nafsu berjalan
bersama dengan rajas menyebabkan sifat-sifat yang penuh semangat membara ini
tidak terkontrol, karena nafsu yang berlebihan menjadi pemimpin semua sifat
buruk manusia. Dalam buku “Hidup itu seperti petir” Suyadnya (2007:9-10) Krsna
bersabda bahwa betapapun tingginya pendidikanmu, apapun pangkatmu, apapun
jabatanmu, kalau engkau tidak bisa mengendalikan nafsu, engkau tidak akan memperoleh
ketenangan batin. Ketenangan batin hanya dapat diperoleh dengan mengendalikan
nafsu.
Kumbhakarna
mewakili ego yang sudah meluas memikirkan negara yang menghidupinya, sehingga
walaupun tahu kepala negara sekaligus kakak kandungnya bersalah, dia berperang
membela negaranya yang sedang diserang. Terlepas dari anugerah yang diperoleh
oleh Kumbakarna, dalam kesehariannya Kumbakarna selalu tidur, bermalas–malasan
dan tidak memikirkan apapun yang ada disekitarnya. Sehingga dalan ajaran tri
guna, Kumbhakarna melambangkan tamas.
c. Sattwam
dalam Dwaita Wedanta
Dalam Dwaita Wedanta dijelaskan
bahwa jiwa dapat dipengaruhi oleh tri guna yaitu :
1.
Jiwa
sattwika yaitu yang dikuasai oleh sifat sattwam dan jiwa semacam ini akan dapat
menuju ke alam sorga.
2.
Jiwa
rajasa ialah jiwa yang dikuasai oleh sifat rajas dan jiwa yang semacam ini akan
tetap dalam keadaan samsara.
3.
Jiwa
tamasa ialah jiwa yang dikuasai oleh sifat tamas dan jiwa ini akan jatuh ke
alam neraka.
Pengaruh tiga guna inilah yang menentukan
jiwa-jiwa itu untuk mencapai sorga, kelahiran kembali ke dunia dan masuk neraka
yang menyebabkan seseorang mengalami kebahagiaan dan penderitaan. Menurut
Dwaita, tiga guna itu merupakan produk pertama dari prakerti yang menjadi asas
kebendaan, maka dari itu pengaruhnya
sangat kuat terhadap jiwa. Dalam modul 1-12, Sumawa dan Krisnu (1995:264)
dijelaskan bahwa :
1.
Sattwam
adalah unsur dari prakerti yang alamnya bersifat tenang, riang, terang dan
bercahaya. Wujudnya berupa kesadaran, sifatnya ringan yang menimbulkan gerak keatas,
seperti adanya angin dan air di udara dan semua bentuk kesenangang, kepuasan
dan kebahagiaan.
2.
Rajas
adalah unsur gerak pada benda-benda ini, ia selalu bergerak, yang menyebabkan
benda dan makhluk bergerak. Rajas menyebabkan api berkobar, angin berhembus dan
pikiran berkeliaran kesana-kemari.
3.
Tamas
menyebabkan sesuatu menjadi pasif dan bersifat negatif. Ia bersifat keras,
menentang aktivitas, menahan gerak pikiran sehingga menimbulkan kegelapan,
kebodohan dan mengantarkan manusia pada kebingungan.
Pengalaman di dunia, setiap objek
tampaknya memiliki tiga karakter. Masing–masing dari karakter ini mewakili satu
aspek berbeda dari realitas fisik. Sattwam menandakan segala sesuatu yang murni
halus dan berguna untuk menghasilkan kebahagiaan. Rajas selalu aktif, ia juga
bertanggung jawab untuk keinginan dan ambisi. Tamas yang berarti pendiam dan
memberikan perlawanan. Ia cenderung untuk tidur dan tidak aktif (Madrasuta,
2014:73). Ketiga guna ini selalu hadir bersama dan tidak pernah dapat
dipisahkan. Ketiga ini ada didalam satu keadaan seimbang secara sempurna dan
sangat mempengaruhi karakter hidup manusia.
Adanya tri guna pada manusia menyebabkan adanya orang–orang
yang sabar dan tenang serta tabah menghadapi sesuatu yang menimpa dirinya. Adanya orang–orang yang
resah, gelisah, bingung dan selalu penuh dengan kesibukan dalam hidup ini.
Selain itu ada lagi orang–orang yang malas, manja, tidak mau bekerja, apatis
dan masa bodoh serta acuh tak acuh yang tidak menghiraukan apa yang terjadi
disekelilingnya.
Karakter Ravana, Kumbhakarna, Surpanakha dan
Vibhisana selalu ada dalam diri manusia. Ketika Ravana yang bersifat rajas
menguasai diri ini maka akan mengakibatkan kehancuran dan penderitaan yang
mendalam. Apapun yang sifatnya berlebihan itu tidaklah baik. Hindari memuaskan
diri sendiri tanpa berlandaskan ajaran dharma. Sradha kepada Tuhan dan sifat
tidak mengejar keduniawian merupakan kunci untuk mencapai kebebasan dari lingkaran
kelahiran dan kematian. Bhagawan Sri Satya Sai Baba bersabda bahwa
ketidakterikatan terhadap keduniawian memberi kebahagiaan dan keterikatan
membawa sengsara. Dalam kutipan dijelaskan :
“Beradalah di dunia namun tidak
terikat. Saudara, rekan, teman, dan mitra Rama, semuanya adalah teladan pribadi
yang dijiwai oleh dharma. Tiga
pemimpin raksasa melambangkan pribadi yang bersifat rajas (Ravana), sifat tamas
(Kumbhakarna), dan sifat sattva
(Vibhisana). Sita merupakan Brahmajnana
atau kesadaran Tuhan yang universal dan mutlak yang harus dicapai setiap
individu melalui pahit getirnya kehidupan dunia. Sucikan dan kuatkan hatimu
dengan merenungkan kemuliaan Ramayana
dan yakinilah Rama adalah jati dirimu” (Bhagawan Sri Satya Sai Baba, terj.,N
Kasturi, 2011:xi-xii).
Ibarat makan, jika makan itu berlebihan makan perut
akan menjadi sakit. Karena perut sakit menyebabkan diri ini menderita. Akan tetapi ketika manusia sudah bisa
mengendalikan diri, apapun yang dimakan pasti dengan porsi yang cukup, seperti
ada pepatah yang mengatakan “berhentilah makan sebelum anda kenyangan”. Kalimat
ini menyarankan untuk hidup secara seimbang dan tidak berpoya–poya. Semua sifat
itu ada pada karakter Vibhisana yang selalu menjalankan kaidah kehidupan dengan
seimbang. Itu semua dia buktikan dengan selalu mengatur pola makannya,
menghormati para leluhurnya, dan rajin berdoa untuk keselamatan dunia.
Di dalam Vayu Purana disebutkan bahwa Brahma membagi
ke dalam 3 fungsi utama, yaitu sebagai pencipta, pemelihara dan pelebur, yang
disebut dengan Tri Murti. Tri Murti jika dikaitkan dengan Tri Guna maka akan
memiliki karakteristik yang berbeda-beda sesuai dengan fungsinya. Dewa Wisnu
dengan sifatnya sattwam yang bertugas untuk memelihara dan menjaga dunia dari
sifat-sifat adharma, Dewa Brahma adalah Dewata dengan sifatnya rajas yang
bertugas sebagai pencipta dan Dewa Siva adalah Dewata dengan sifatnya tamas
yang bertugas sebagai pralina atau pelebur. Jika dikaitkan dengan karakter
Vibhisana yang berpegang teguh pada dharma, maka Vibhisana karakternya
dipengaruhi oleh sifat-sifat sattwam.
Vibhisana adalah
simbol dharma yang merupakan kebenaran tertinggi dan universal. Dimanapun
kebenaran itu akan tetap benar. Walau ditaruh ditempat yang kotor, tetap saja
akan berpegang teguh pada kebenaran. Dalam kehidupan Vibhisana, dia selalu
berpegang teguh pada prinsip hidupnya. Prinsip tersebut tidak lepas dari
karakter Vibhisana yang baik, sopan, tenang karena sifat Vibhisana dipengaruhi
oleh sattwam dan menyebabkan perilaku Vibhisana yang sesuai dengan ajaran moral
dan sesuai dengan aturan. Vibhisana yang sejak lahir memang berwujud manusia
dan tidak terpengaruh oleh lingkungan tempat dia tinggal. Ketika Vibhisana
lahir, Rsi Wisrawa bersabda bahwa Vibhisana akan menjadi anak berwatak Brahmana sejati. Berani mempertahankan
pendirian dan bersedia mengorbankan apa saja demi membela kebenaran (Pratikto,
1983:58). Saat dewasa Vibhisana bertapa memohon anugerah, permohonan Vibhisana
sungguh mulia. Seperti yang diuraikan dalam teks, dijelaskan bahwa :
“Anak
muda, apa yang kamu inginkan dari tapamu ini ? Vibhisana menjawab, yang aku
inginkan hanyalah kenyamanan dan keamanan dunia sehingga kehidupan manusia dan
makhluk–makhluk hidup lain dimuka bumi ini menjadi tenang dan damai. Apa kau
sanggup menjalaninya ? Vibhisana menjawab, aku akan berjuang sekuat tenaga
untuk mewujudkan keadilan dan kebenaran demi kenyamanan dan keamanan kehidupan
di dunia ini. Dewa Brahma sungguh sangat senang mendengar hal tersebut.
Sehingga Vibhisana diberi anugerah sikap kelembutan dari tutur kata yang dapat
mempengaruhi orang lain untuk berbuat baik dan menghindari kejahatan yang akan
dilakukan” (Kresna, 2012:113-114).
Keinginan Vibhisana sungguh mulia dan anugerah itu
menjadi prinsip hidupnya. Dengan
karakter dan anugerah tersebut, Vibhisana bagaikan permata yang bersinar
di antara para raksasa. Karakter yang berpegang teguh pada kebenaran dan berani
menentang tindakan-tindakan adharma menyebabkan Vibhisana sering berselisih
dengan Raja Ravana. Kebenaran adalah dharma dan dharma adalah nafas kehidupan.
Sri Swami Sivananda (2003:72) menyatakan bahwa dalam filsafat Waisesika, yang meningkatkan dan membawa
lebih dekat kepada Tuhan adalah benar, yang membawamu turun dan jauh dari Tuhan adalah salah, yang dilakukan
dengan tepat sesuai dengan kitab suci adalah benar dan yang dilakukan dengan
melanggar kitab suci adalah salah. Agama adalah ajaran tentang kebenaran mutlak
yang tidak bisa diganggu-gugat karena berasal dari Tuhan. Kebenaran adalah sesuatu
yang tidak berubah dan selalu benar. Jika kebenaran itu adalah sesuatu yang
benar hari ini, maka kebenaran itu juga akan menjadi benar besok dan selamanya.
Karakter Vibhisana berpegang teguh pada kebenaran adalah kebenaran yang
berdasarkan ajaran kitab suci yang merupakan petunjuk dari Tuhan dan tindakan
Vibhisana dibenarkan dalam kitab suci. Adapun ajaran-ajaran kebenaran dalam
kitab suci dipertegas dalam berbagai sloka-sloka, antara laian :
a. Ajaran Kebenaran dalam Slokantara
Secara harafiah, Slokantara berarti untain sloka mahawakya yang diyakini
mengandung kebenaran hakiki. Kitab ini sejajar kedudukannya dengan kitab
Sarasamuccaya yang bersama-sama merupakan Kitab Smrti (Sudharta, 2012:vii).
Teks Slokantara dapat menjadi fundamen yang kokoh bagi umat Hindu dalam
menghadapi kehidupan yang penuh godaan duniawi yang menyesatkan. Ketika
Vibhisana telah lelah memberi nasehat kepada Ravana, hingga pada akhirnya demi
kebenaran, Vibhisana meninggalkan itu semua, karena tidak ada yang melebihi
dari ajaran kebenaran dan itu dibenarkan dalam kitab Slokantara. Dalam kitab Slokantara Sloka 3 (7) dan 4 (9) di jelaskan :
Nāsti satyāt paro dharmo nānrtāt pātakam param,
triloke ca hi
dharma syāt tasmāt satyam na ’lopayet.
Terjemahan
:
Tidak ada dharma
(kewajiban suci ) yang lebih tinggi dari kebenaran (satya), tidak ada dosa
lebih rendah dari dusta. Dharma harus dilaksanakan di ketiga dunia ini dan kebenaran
harus tidak dilanggar (Sudharta, 2012:15).
Anityam yauwanam
rupamanityo drawyasamcayah,
anityah
priyasamyogastasmād dharmam samācaret.
Terjemahan
:
Keremajaan dan
kecantikan rupa tidak langgeng. Timbunan kekayaan tidak langgeng. Hubungan dengan
yang dicinta pun tidak langgeng. Oleh karena itu harus selalu mengejar dharma
(kebenaran) karena itulah yang langgeng (Sudharta, 2012:17).
Vibhisana mempunyai harta berlimpah,
mempunyai wewenang sangat besar sebagai adik seorang raja yang sangat berkuasa.
Vibhisana mempunyai keluarga yang hidup sejahtera di negeri Lańka. Akan
tetapi demi kebenaran dia rela menukar itu semua dengan menyeberang ke pihak Rama
yang kekuatannya belum diketahui apakah bisa mengalahkan pasukan Lańka. Sebuah
pilihan yang penuh resiko terhadap diri dan keluarganya, terutama apabila
pasukan Rama kalah perang melawan pasukan Ravana. Sesungguhnya manusia semua,
tanpa kecuali sadar atau tidak, tengah memetik buah dari masa lalu. Seperti
yang dijelaskan dalam kitab Slokantara sloka 43(40), bahwa seorang pelayan
boleh meninggalkan rajanya dengan alasan yang dijelaskan sloka ini yang
berbunyi :
Tyajet swāminamatyugrāt krpanam tyajet,
Knpanadawisesajnamawisesat
krtaghnakan.
Terjemahan :
Seorang pelayan boleh meninggalkan
tuannya, jika tuannya itu sangat kejam atau kikir, sangat kikir, apabila jika
ia tidak mempunyai rasa perikemanusiaan, atau jika ia tidak bisa membalas budhi (Sudharta,
2012:133).
Jika
keluarga bertindak yang bertentangan dengan ajaran dharma dan menginjang-injak dharma
maka tindakan yang harus di perbuat adalah menasehati dengan perkataan dan
menasehati dengan tindakan. Dia adalah musuh bagi kebenaran. Membela kebenaran
jangan pernah mengkaitkannya dengan hubungan kekerabatan dan bertindaklah adil.
Hal ini dipertegas dalam kitab Slokantara
sloka 25 (51) yang berbunyi:
Paro’pi hitāwām
bandhurbandurapyahitah parah,
ahito dehajo wyādhir hitamāranyamausadham
Terjemahan
:
Walau orang lain
tetapi bermaksud baik adalah keluarga. Walau keluarga tetapi kalau bermaksud
jahat adalah orang lain. Sebagai halnya penyakit, walaupun timbul dari diri
sendiri tidaklah menyenangkan, sedangkan daun obat-obatan walaupun dari hutan
asalnya, sangatlah dihargai (Sudharta, 2012:85).
Dari Sloka tersebut dapat dijelaskan kondisi–kondisi kapan waktunya seorang
raja patut ditinggalkan. Ketika raja mementingkan diri sendiri tanpa memikirkan
nasib rakyatnya atas perbuatan menculik Sita, ketika itu juga penasehat raja
harus berani membuka pintu hati sang raja agar mengubah sikapnya. Sudah sepatutnya
seorang penasehat memberikan arahan dan jalan kebenaran. Namun apa jadinya jika
seorang penasehat yang jujur dan bijaksana, tetapi raja tidak memperdulikannya
bahkan mengusirnya. Jika seorang raja sudah bertindak sedemikian jahatnya dan
tidak menghiraukan cahaya kebenaran, tinggalkanlah raja yang bersifat demikian.
Seketika penasehat raja yang bijaksana meninggalkannya, seketika itu pula
cahaya akan padam. Akibatnya kegelapan dan nafsu yang menyelimutinya yang
menyebabkan raja menjadi tersesat dan terjerumus ke dalam lubang kehancuran.
Vibhisana
adalah ornamen yang paling indah seperti permata. Dia telah memahami bahwa
negara hanya merupakan maya yang tidak abadi yang berguna bagi peningkatan
kesadaran, sedangkan dharma adalah kebenaran yang benar-benar nyata. Vibhisana
secara tidak langsung telah memuliakan dan mensucikan kaum Raksasa.
Nasehat Kebenaran Vibhisana kepada Ravana
Ada pepatah yang mengatakan bahwa keberhasilan
tergantung pada nasehat orang bijak. Vibhisana merupakan penasehat raja dan
selalu menjalankan tugasnya dengan baik. Ketika Vibhisana bertemu dengan
Hanoman, Vibhisana berdialog dengan Hanoman, seperti yang diuraikan dalam teks
:
“Wahai Hanuman, engkau sungguh beruntung telah dipilih
sebagai Duta Sri Rama. Tahukah wahai Hanuman, mengapa saya yang berdoa setiap
hari terhadap Sri Rama belum dapat bertemu Sri Rama?” Hanuman menjawab:
“Pangeran Vibhisana, karena senantiasa doa maka Pangeran akan memperoleh
kesempatan dharsan, bertemu
muka dengan Sri Rama. Akan tetapi sekedar berdoa kurang bermakna, doa harus
diikuti perbuatan nyata. Paling tidak Pangeran harus menyuarakan Kebenaran.
Karena yang paham diam, maka negeri Lańka mengalami carut-marut dalam penegakan dharma.” (Anandas
Ra, 2004:122).
Dari
dialog tersebut, keberanian Vibhisana muncul untuk menasehati Ravana, karena
tindakannya telah menyimpang dari ajaran dharma. Ia mengetahui
betul kaidah dharma yang harus di jalani sebagai seorang penasehat raja.
Vibhisana adalah orang yang mahir dalam seni berbicara. Dari tutur bicara,
Vibhisana tahu apa yang harus diucapkan, kapan dan dimana ia harus berbicara.
Sesuai dengan karakter Vibhisana yang tenang dan sopan mencoba untuk menasehat Ravana.
Ternyata
umur tidak bisa menjadi jaminan seseorang untuk bisa berpikir lebih dewasa dan
bijak. Ibarat pepatah mengatakan, “lebih duluan yang tua merasakan garam
kehidupan tetapi belum tentu bisa berpikir bijak”, Vibhisana yang lebih muda
tetapi berpikir dewasa dan tidak ada salahnya Vibhisana menasehati Ravana.
Karena yang menunjukan kedewasaan seseorang dalam kehidupan bukan dari usianya,
namun dari karakter yang baik, ucapan dan tindakan yang bijaksana. Di dunia ini
akan mudah untuk mencari orang yang akan menyenangkan hati dengan kata-kata
yang manis, akan tetapi akan sangat sulit mencari orang yang menyuarakan
kebenaran dengan tegas. Dunia ini bagaikan dijatuhi racun oleh perbuatan
Ravana. Oleh karena itu, harus ada penawar racun agar dunia terselamatkan.
Nasehat yang jujur ibarat pil pahit namun pada akhirnya akan menyembuhkan.
Kritik yang jujur sulit diterima, terutama dari seseorang anggota keluarga,
seorang teman, seorang kenalan atau orang asing (Foster, 2008:78). Nasehat
Vibhisana adalah amerta yang akan menyelamatkan Ravana dan dunia ini. Adapun
nasehat-nasehat dari Vibhisana untuk raja Ravana, yaitu Vibhisana ingin agar
Ravana mempertimbangkan kekuatan musuh, mengembalian
Sita dan menyembah Rama.
a.
Mempertimbangkan
kekuatan musuh
Tugas
menjadi seorang penasehat adalah menasehati tentang kebenaran, walau terkadang
kebenaran itu menyakitkan. Namun, jika nasehat itu diperuntukan untuk
kepentingan bersama, seharusnya nasehat tersebut dipertimbangkan. Pasukan Lańka
terlalu menganggap remeh pasukan Wanara, sehingga mereka semua menjadi sombong.
Tetapi, mempertimbangkan kekuatan musuh adalah suatu kebijakan yang sangat
tepat. Seperti yang diuraikan dalam teks, dijelaskan bahwa :
“Aku telah mendengar tentang Rama. Dia
adalah orang yang selalu berhati-hati dan penuh pertimbangan akan selalu
didukung oleh para Dewa. Rama adalah seorang yang selalu jaya dan yang terpenting adalah Dewa ada
dibelakangnya. Pertimbangkanlah kekuatan Hanoman, tidak boleh merendahkan
kekuatan musuh” (Subramaniam, 2003:13).
Dari kutipan di atas, dapat dilihat sosok Vibhisana
yang bisa menilai dan menimbang kekuatan musuh. Sudah sangat jelas, kesalahan
ada dipihak Ravana, karena menculik istri Rama. Seharusnya tidak ada
peperangan, namun yang harus dilakukan adalah mengembalikan Sita dan memohon
maaf kepada Rama. Tidak boleh meremehkan musuh, walau seorang raja memiliki
kekuatan yang luar biasa dan tidak terkalahkan. Karena dengan demikian hanya
akan menimbulkan sifat keakuan yang sebenarnya akan membawa diri pada
kehancuran. Jangan pernah mengukur kekuatan musuh dari segi fisik dan jumlah.
Semua menteri dan pasukan raksasa Ravana memberikan nasehat penuh dengan
kesombongan yang merupakan ciri khas sifat dari para raksasa. Ravana adalah
orang yang bingung dan bodoh, kejam tak punya belas kasihan. Ravana ibarat racun,
supaya menjadi sehat, hendaknya menasehatinya.
b.
Menasehati
untuk mengembalikan Sita
Ketika mengambil istri orang, itu adalah
dosa yang paling besar, membunuh Brahmana
adalah dosa terberat dan terjahat.
Kalau selingkuh, menyebabkan dosa pada istri dan dosa pada suaminya dia. Ravana
seharunya berani mengakui kesalahan, karena Sita bukan istri yang diperebutkan
dalam sayembara, melainkan dengan menculik dan itu adalah tindakan yang sangat
memalukan. Kejatuhan seseorang ada tiga yaitu
tahta, harta dan wanita. Awal dari segala bencana yang terjadi di negeri
Lańka adalah akibat ulah memalukan rajanya sendiri. Seperti yang diuraikan
dalam teks, dijelaskan bahwa :
Kalian
harus menasehati agar dia mengembalikan Sita pada suaminya dan ini adalah jalan
yang terbaik. Vibhisana menoleh kearah Ravana dan berkata, kembalikan Sita pada
Rama. Maka selanjutnya kau akan terbebas dari segala kekhawatiran dan kamipun
bisa bernafas lega serta hidup bahagia. Vibhisana memohon agar nasehatnya
didengar” (Subramaniam, 2003:21-23)
Memang dalam hidup ini akan sangat mudah menemukan
seseorang dengan kebohongan dan menyenangkan hati dengan kata-kata yang manis. Tetapi sulit
mencari seseorang yang jujur dan tulus dari hati, seperti tindakan lantang dan
berani Vibhisana yang menyuruh Ravana untuk mengembalikan Dewi Sita. Karena dengan mengembalikan Sita, berarti
Ravana menjunjung tinggi nilai keagungan martabat leluhurnya, Ravana akan tercatat
sebagai seorang raja yang cinta damai, Ravana akan menjadi raja yang pandai
menghargai hak dan nilai budhi seorang raja yang luhur, dengan keputusan itu
Ravana akan dihormati sejarah sebagai seorang raja yang mengutamakan cinta
kasih dan Ravana akan dihormati para Dewa dan umat manusia diseluruh dunia (Pratikto, 1983: 348-349).
Jika Ravana dikaitkan dengan jaman sekarang ini,
Ravana akan dicap sebagai pemimpin yang tidak bermoral oleh rakyatnya sendiri.
Bukannya mempertahankan daerah kekuasaan tetapi mempertahankan istri orang
lain. Seharusnya tidak ada rakyat yang patut untuk membelanya. Tetapi sangat
disayangkan, karena pengaruh sifat keraksasaan mereka ikut terjerumus oleh
nafsu rajanya Ravana. Namun Vibhisana memang sungguh berbeda, Vibhisana ibarat
permata didalam lumpur. Walau dikotori oleh lumpur tetap saja akan menjadi
permata yang indah. Vibhisana yang berada di lingkungan para raksasa tetapi
tetap bisa memancarkan cahaya kebenaran, bahkan tidak terpengaruh oleh
lingkungan tempat dia berada. Seperti pernyataan Vibhisana kepada Ravana
“sekarang apa tujuan berperang? hanya bersitegang mempertahankan istri orang
lain? Bukakankah nama paduka yang agung dan berwibawa akan runtuh karenanya?”(Pratikto,
1983:349).
Dengan
demikian nasehat–nasehat yang disampaikan oleh Vibhisana sungguh agung dan
mengarahkan kejalan kebenaran. Apa yang dipertahankan oleh Ravana itu adalah
sesuatu yang tidak sepatutnya dipertahankan. Karena Sita adalah racun yang
telah membutakan mata Ravana. Racun yang akan membunuh kejahatan para raksasa.
Sita ibarata kekuasaan yang dipertahankan untuk kepentingan Ravana sendiri
tetapi mengorbankan rakyat Lańka untuk mempertahankannya. Ravana telah
dipengaruhi oleh Sad Ripu karena tidak bisa mengendalikan keinginannya. Andai
saja Ravana mempertahankan wilayah kekuasaan, peneliti mempunyai keyakin bahwa
Vibhisana tidak akan membelot dan membantu raja untuk berperang. Namun pada
kenyataannya apa yang telah dipertahankan Ravana telah berseberangan dengan
sendi–sendi ajaran kebenaran.
c.
Menasehati
agar Ravana menyembah dan bersahabatan
Vibhisana menasehati Ravana agar menyembah dan bersahabat
dengan Rama. Seperti yang diuraikan dalam teks dijelaskan bahwa “tuanku, mohon
dengarkan nasehatku, ambil permata-permata berhargamu dan bawalah Sita kepada
Rama” (Subramaniam, 2003:23). Nasehat untuk menyembah dan bersahabat dengan
Rama adalah nasehat yang sungguh mulia. Peneliti mempunyai keyakinan jika
Ravana mau mendengarkan nasehat Vibhisana maka kerajaan Lańka akan semakin jaya.
Menyembah dan mengakui kesalahan adalah tindakan kesatria. Dengan menyembah
Rama, sebenarnya Ravana akan berumur panjang karena terbebas dari kematian.
Namun karakter Ravana yang angkuh dan merasa hebat menyebabkan
dia menjadi sombong dan tidak mau bersahabat. Menyembah dan bersahabat dengan
musuh, bukanlah tindakan pengecut. Karena persahabatan akan melahirkan rasa
saling mengasihi dan saling menyayangi. Bahkan yang termulia akan semakin
terhormat dan disegani oleh masyarakat. Apabila Ravana mau mendengar nasehat
Vibhisana, maka selamanya tidak akan terjadi perang, tidak ada kerugian, tidak
ada kematian, tidak ada kesedihan yang diterima oleh Ravana dan pengikutnya. Nasehat
Vibhisana adalah siasat yang tetap, karena peperangan tidak akan menghasilkan
apa-apa, yang ada hanya kehancuran dan penderitaan. Apalagi Ravana berada
dipihak yang salah dengan menculik Sita, maka
Ravana akan hancur.
Nilai-nilai yang
perlu diteladani dari Karakter Vibhisana
a.
Ketekunan
Ketekunan
adalah perilaku atau tindakan yang bersungguh-sungguh, rajin dan penuh
semangat. Vibhisana bersama saudara–saudaranya bertapa selama bertahun–tahun
untuk mendapatkan ilmu yang diharapkan. Seperti yang diuraikan dalam teks,
dijelaskan bahwa:
Tiga tahun lamanya Vibhisana dan
saudara-saudaranya bertapa, hingga pada akhirnya Vibhisana memperoleh anugerah
dari dari Dewa Brahma. Vibhisana datang ke negeri Lańka dan memiliki anugerah dari Dewata sebagai mahluk
sakti yang tidak terkalahkan (Pratikto, 1983:60).
Pada
jaman sekarang ini, bertapa selama sepuluh tahun untuk mendapatkan ilmu
pengetahuan diidentikan dengan orang yang belajar pada pendidikan formal untuk
mendapatkan bekal hidupnya. Hal ini bukan perjuangan yang mudah. Tentunya
Vibhisana dan saudara–saudaranya mengalami banyak tantangan, kesulitan serta
godaan. Namun demikian pada akhirnya Vibhisana berhasil menyelesaikannya dengan
baik.
Sejak mulai bertapa, Vibhisana sudah didasari
oleh maksud–maksud dan cita–cita yang baik. Dia tidak mengharapkan dapat
menguasai dunia atau mendapat kekuasaan, tetapi lebih kepada cita–cita
kedamaian dan kelestarian hidup umat manusia. Hal tersebut dipegang teguh serta
dilaksanakan setelah tuntas perjuangan memperoleh ilmu. Ilmu itu diamalkan
dalam kehidupan sebenarnya, yaitu menentang kebatilan untuk menegakan
kebenaran.
b.
Keteguhan
hati
Keteguhan
hati adalah kekuatan hati, di mana hal yang mutlak diperlukan oleh manusia
dalam keseluruhan aspek kehidupan manusia. Keteguhan hati dapat berarti dalam
keyakinan sradha kepada Sang Hyang Widhi, komitmen terhadap ajaran-ajaran-Nya,
teguh dalam memegang prinsip–prinsip kebenaran dan kuat dalam memperjuangkan
keyakinan yang bersumber dari hati nurani. Dalam teks dijelaskan, ketika
Vibhisana menjawab pertanyaan Ravana, “hamba tetap pada pendirian semula, bila
paduka ingin tetap menjadi raja agung di negeri Lańka, kembalikan Sita” (Pratikto, 1983:348).
Keteguhan
hati mengantarkan seseorang meraih kebijaksanaan dan kemuliaan dalam hidupnya.
Keteguhan hati menjadi cermin kepribadian seseorang, karena menunjukan
keyakinan kebenaran yang ditempuh. Dalam teks dijelaskan :
Seorang kakak harus diperlakukan
sebagai seorang ayah. Akan tetapi, tuan kau telah menolak untuk berjalan di
atas rel dharma. Aku berrmaksud menyelamatkanmu. Aku punya satu keinginan dalam
hatiku dan itu adalah kebaikan dan keselamatanmu (Subramaniam, 2003:25).
Ketika
seseorang mampu mendengarkan bisikan hati, dalam kebenaran dan kebaikan, tidak
mudah tergoda dengan tawaran dan jebakan hawa
nafsu dan ego pribadi, tidak mudah dibelokan dengan tujuan yang tidak
sesuai dengan keyakinan hati. Keteguhan hati merupakan nilai yang dapat temukan
pada karakter Vibhisana. Vibhisana yang memiliki pola pikir dan pola tindakan
berbeda dengan saudara–saudaranya sangat teguh memegang prinsipnya. Sebagai
orang yang luas pengetahun lahir maupun batin, Vibhisana tahu persis apa yang
akan dihadapi dengan tindakan dan perilakunya. Vibhisana tidak pernah mau
bergeming dari prinsip–prinsip yang diyakini kebenarannya. Semua itu didasari
oleh keyakinan bahwa itulah laku seorang yang luhur budhinya, itulah laku
seorang pendeta yang arif dan bijaksana, dan dengan cara itu dia dapat
mengamalkan ilmunya demi kebenaran dan keadilan. Dia adalah gambaran orang yang
sangat teguh hatinya. Dia adalah orang yang betul–betul membela kebenaran yang
diyakini. Dia berani berkorban atas segala yang dimilikinya demi kebenaran.
c.
Bijaksana
Bijaksana
adalah tindakan dengan menggunakan akan budhinya dalam menghadapi suatu masalah
kehidupan dan kecakapan dalam bertindak apabila dalam menghadapi suatu
kesulitan. Dimana terdapat nafsu, kebencian, kemabukan, amarah disitu tidak
terdapat kebijaksanaan. Seperti yang diuraikan dalam teks, dijelaskan bahwa :
Vibhisana berdiri dan berbicara
dengan penuh kebijaksanaan, pertimbangkanlah kehebatan Hanuman. Dia telah
menyeberangi lautan samudera luas yang tak akan pernah bisa diseberangi oleh
mahluk duniawi. Karena tidak boleh merendahkan kekuatan musuh dan jangan
tergesa-gesa menafsirkan kekuatan mereka (Subramaniam, 2003:13).
Kebijaksanaan
menjadi permata bernilai bagi seseorang. Tanpa adanya kebijaksanaan maka
kesalahan dan keserakahan akan semakin sering dilakukan. Vibhisana adalah orang
yang terkenal sangat luas pengetahuannya, baik lahir maupun batin. Dalam kisah
kehidupannya, Vibhisana adalah orang yang menghargai pendapat orang lain, baik
para orang tua, penguasa, ataupun rakyat jelata. Dengan sifat yang demikian,
Vibhisana selalu bisa menimbang apa yang seharusnya dilakukan atau diputuskan
terhadap suatu masalah yang dihadapi.
d.
Satria
Satria
adalah suatu sifat yang selalu membela kebenaran, tidak takut menghadapai
kesulitan atau tantangan yang bagaimanapun beratnya, serta mau mengakui
kesalahan. Dalam hal pertentangan antara kakaknya Ravana, dengan Rama,
Vibhisana digambarkan tahu persis mana yang benar dan mana yang salah. Atas
dasar tersebut, Vibhisana berani mengesampingkan nilai “berbakti” kepada raja
Ravana, karena tujuan Vibhisana adalah untuk membela kebenaran dan keadilan.
Dia berani menasehati, meminta dan menganjurkan kakaknya untuk mengembalikan
Sita kepada Rama, serta meminta maaf kepada Rama atas kesalahan yang telah menculik
Dewi Sita. Vibhisana berani menasehati Ravana dengan pandangan yang berbeda.
Seperti yang diuraikan dalam teks, dijelaskan bahwa :
Mohon kembalikan Sita pada Rama, aku
tidak pernah takut mengorbankan nyawa, namun aku mengkhawatirkanmu. Akan sangat
mudah untuk mencari semilyar orang yang akan menyenangkanmu dengan kata-kata
manis. Akan tetapi akan sangat sulit mencari orang yang mau menyuarakan
kebenaran dengan tegas. Mohon selamatkan kota ini dan dirimu sendiri
(Subramaniam, 2003:25).
Vibhisana
sadar betul bahwa tindakannya itu akan membuat Rahvana murka. Walaupun
demikian, Vibhisana tidak takut dimarahi, disakiti dan bahkan diusir dari
negara yang dicintainya demi membela kebenaran. Dia rela meninggalkan kemewahan
dan berbagai fasilitas yang dimilikinya. Dia cenderung memilih kebenaran dan
berbagai kesulitan dari pada kesenangan tetapi menginjak–injak sendi kebenaran
dan keadilan.
e.
Berbakti
Berbakti
adalah perbuatan yang menyatakan setia, tunduk dan hormat kepada orang tua dan
Tuhan Yang Maha Esa. Berbakti berarti sikap dan perilaku terhadap sesama dengan
mengadakan sikap khusus, karena adanya perbedaan dalam usia dan kedudukan.
Berbakti juga berarti menjunjung tinggi pesan dan amanat yang diterima,
khususnya dari ayah dan ibu. Karena nasehat ayah dan ibu adalah doa dan
anugerah yang suci. Sehingga pengertian berbakti ini dapat pula terwujud dalam
sikap tidak menolak terhadap pesan orang, misalnya kakak, paman, bibi, bahkan
kakek dan nenek. Betapa baktinya Vibhisana kepada Ravana, supaya Ravana tidak hancur,
Vibhisana menasehati dan memperingati adalah pengabdian yang sungguh luar
biasa. Simbol bakti adalah selalu mengingatkan dan menghormati kakaknya Ravana,
namun Ravana tidak paham, hingga tega mengusir Vibhisana. Seperti yang
diuraikan dalam teks, dijelaskan bahwa :
Ia memasuki ruangan istana, kemudian Vibhisana mendekat
dan bersujud dihadapan Ravana. Vibhisana adalah orang yang mahir dalam seni
berbicara. Ia tahu apa yang harus diucapkan, kapan dan dimana saja
(Subramaniam, 2003:15).
Vibhisana
adalah orang yang berbakti yang selalu menuruti aturan yang berlaku dalam
segala perilaku dan tindakanya. Sikapnya pun selalu sopan dan sangat santun.
Misalnya menyembah dulu sebelum mengucapkan sesuatu. Dia selalu memilih kata dan bahasa yang halus
dan rendah untuk mengutarakan pendapat pada orang yang dihormati itu. Vibhisana
tidak pernah membantah pesan dan amanat yang datang dari orang tuanya, termasuk
pesan ibunya untuk memberi peringatan dan nasehat kepada kakanya Ravana.
0 komentar:
Posting Komentar