Ilustrasi |
Dalam epos besar Ramayana, Dewi Sita sebagai istri dari Rama. Ia merupakan wanita yang memiliki ketokohan dalam mempertahankan harkat dan martabat serta kesucian kaum wanita, walaupun dalam kondisi yang tidak menguntungkan, Dewi Sita demikian tegar menghadapi ancaman, gangguan, hambatan dan tantangan yang menantang serta mengerikan, dari seorang raja raksasa yang bernama Rahwana. Sita adalah peran yang sangat tragis dalam menentukan arah perpolitikan Ayodya. Ia tetap tegar walaupun menelan pil pahit dari rakyatnya yang telah meragukan kesucian Dewi Sita. Sita dalam keadaan hamil meninggalkan Ayodya dan tinggal bersama Rsi Wasista, kemudian melahirkan putra serta memeliharanya. Kisah-kasih ini menempatkan Dewi Sita sebagai tokoh wanita yang mempertahankan harkat martabat serta kesucian wanita, dan dapat menjadi panutan bagi umat manusia.
Dewi Kunti adalah tokoh tragis strategis yang memiliki sifat kepahlawanan dari sejarah purbakala Mahabharata. Selaku istri raja Pandu dan ibu dari lima putra termasyur (Pandawa lima), Dewi Kunti berperan penting dalam pertikaian politik rumit, yang berlanjut dengan pecahnya perang dahsyat perebutan kekuasaan di Kuruksetra lima puluh abad yang lalu. Seusai perang Bharatayudha, Dewi Kunti mendekati Sri Krsna, pada saat beliau hendak berangkat pulang dari kota Hastinapura. Meskipun Dewi Kunti bibi Krsna, Kunti menginsyafi secara sempurna identitas Krsna yang suci dan mulia sebagai kepribadian Tuhan Yang Maha Esa. Dengan demikian wanita tergolong mahluk sangat peka di bidang urusan spiritual, sehingga tidaklah mengherankan Dewi Kunti memiliki peranan sangat penting dan strategis dalam percaturan politik maupun usai peperangan Bharathayudha. Tentu sangat tidak masuk akal manakala Veda dipandang sebelah mata penganut lain dalam konteks penempatan posisi wanita, kecuali yang tidak memahami arti dan makna penting pluralisme akibat pemahaman dan pemaknaan yang sempit dari kitab sucinya.
Usia Veda yang beribu-ribu tahun, tidak mempengaruhinya dalam berpikir modern tentang wanita. Wanita menempati tempatnya yang tertinggi baik di rumah maupun di masyarakat dalam peradaban Veda. Laki-laki dan wanita menikmati hak-hak yang sama. Bagi suami dan istri, Veda menyebut satu kata dampati yang berarti dua tuan dari satu rumah. Tidak hanya suami, tetapi juga istrinya adalah pemilik yang sama atas rumah (Talreja, 2005; 87). Berbicara hubungan wanita dan lelaki pada sebuah perkawinan dalam Veda terasa demikian ideal dan indah penuh bunga-bunga yang harum semerbak manakala diperhatikan Atharva Veda 14.2.75 sebagai berikut, “sebagai wanita yang pintar dan waspada, menikmati hidup yang penuh selama seratus tahun, masukilah rumah ini sebagai ratu yang ideal, semoga Sang Pencipta menganugrahi engkau usia panjang.” (Talreja, 2005; 88).
Upacara perkawinan yang dilaksanakan sesuai dengan agama Hindu adalah mengikat suami dan istri dalam ikatan spiritual dan kemerdekaan, persamaan derajat dan integritas, suci dan rasa bhakti. Walaupun mereka dua, namun mereka menjadi satu jiwa hidup dalam dua badan. Guna menambah keindahan dua badan satu jiwa ini, ada mantra yang tertuang dalam Atharva Veda, manakala pengantin laki-laki dan istrinya pada waktu perkawinan, menggambarkan persatuan yang tidak dapat dipisahkan satu sama lain, sebagaimana diterangkan dalam Atharva Veda 14.2.71 sebagai berikut, “aku pengantin pria, engkau pengantin wanita, aku kidung, dan engkau syair, aku sorga, dan engkau bumi, kita akan tinggal di sini bersama, menjadi orang tua bagi anak-anak.”
Itihasa, sejarah besar umat manusia telah menjadi saksi jatuhnya bangsa-bangsa besar diakibatkan terjadinya penghinaan terhadap wanita. Rahwana dan kerajaan Alengkanya yang besar telah luluh lantak akibat penghinaan terhadap wanita yaitu penculikan Dewi Sita. Wangsa Kuru luluh lantak akibat penghinaan terhadap kehormatan seorang wanita yaitu Dewi Dropadi, walaupun penghinaan itu hanya oleh adik ipar yang merupakan sepupu Pandawa yaitu Duryodana. Seharusnya wanita dihormati, karena pendidik pertama dan terdekat dengan anak insan manusia adalah sembilan bulan di dalam kandungan ibunya.
Manu Dharmasastra menempatkan wanita pada tempat yang istimewa, walaupun dalam kontekstual Veda Smrti ini belum memiliki tempat dalam Lembaga Hukum formal. Uraiannya yang logika religius, sangat baik pula bagi umat manusia dunia, sebab konteks pemikiran demikian, sangat maju dan modern, karena berbagai uraiannya yang rasional religius memahami karakter dan sifat-sifat wanita. Dalam kitab ini, wanita tidak berada dalam kekuasaan serta dominasi laki-laki, namun ia adalah penentu kehormatan laki-laki maupun keluarga, karena wanita sangat ditentukan oleh sifat maupun tutur kata dan prilakunya, maka kesetiaan wanita tidak tergantung pada paras rupawannya. Dengan demikian, wanita tidak bisa dijaga dengan kekerasan, ia dijaga dengan kesetiaan dan kesucian. Wanita tidak juga bisa dijaga dengan selingkuh untuk mencapai kebahagiaan serta kekuasaan, Manawa Dharmasastra, IX.5, “suksmebhyopi prasanggebhyah, striyo raksya wicesatah, dwayorhi kulayoh cokam, awaheyure raksitah.” Artinya, wanita teristimewa harus dilindungi dari kecendrungan berbuat jahat, bagaimanapun sedih tampaknya, jika mereka tidak dijaga akan membawa penderitaan kedua belah pihak (Pudja, 1995/1996; 527).
Penempatan wanita dalam Kitab Manu Smrti demikian istimewa, manakala mencermati berbagai uraian sloka demi sloka mendapat perhatian yang istimewa, di samping dijaga oleh keluarganya ia harus dijaga oleh suaminya, walaupun sang suami dalam kondisi lemah sekalipun, karena disadari wanita tempat bersemainya benih-benih anak bangsa harus dijaga kesuciannya dan tidak tercemar dari kekotoran pikiran, ucapan maupun prilaku tercela.
Keindahan wanita menjadikan gambaran dan divisualisasikan dengan demikian religius di dalam Rg Veda Samhita, wanita ditempatkan dengan berbagai perumpamaan oleh para bhakta dalam melakukan yajna, hal ini terurai dalam Mandala IV sukta 3 sloka 2, sebagai berikut, “ayam yonis cakrma yam vayam te, jayeva patya usati suvasah, arvacinah parivito ni sidema u te, svapaka praticih.” Artinya, “Ini adalah altar, yang telah kami hias untukmu seperti seorang istri menarik suaminya dengan pakaian anggun. Wahai pelaku kegiatan yang baik, semoga engkau duduk pada kehadiran kami, yang diselimuti dengan pancaran sinar, sementara nyala ini cendrung mengarah padamu (Maswinara, 2004; 10-11).
Dalam berbagai kitab Hindu, tidak ada penistaan wanita, kecuali karena kemauan wanita itu sendiri dan penistaan lelaki tidak ber-Veda, wanita sedianya dijaga dan dilindungi kehormatannya, karena adalah ibu pertiwi tempat tumbuhnya benih-benih penerus leluhur, kesuburan wanita hendaknya dirawat dan dijaga untuk menentukan anak-anak yang akan dilahirkan, untuk maksud semua ini dalam pengaturan hubungan badan suami istri sangat diatur dalam Veda, maupun berbagai teknis keindahan dan kepuasan masing-masing pasangan seksual dalam Kama Sutra.
Dalam Rg Veda, kesucian seorang ibu selalu diperlambangkan dengan kecerdasan dan bhaktinya, mengenai hubungan umat manusia dengan penciptanya yang maha cemerlang, uraian yang indah ini terurai dalam Mandala 1, Sukta 6 sloka 4 sebagai berikut, “ad aha svadham anu, punar garbhatvm erire, dadhana nama yajniyam.” Artinya, “Selanjutnya, persenyawaan kemampuan yang diilhami oleh sang diri batin untuk bekerja dan memuja, mulai memahami tugasnya seperti ibu yang memahami adanya nyawa pada janinnya (Maswinara, 1999; 11 ).
Sloka di atas, menempatkan wanita yang demikian spiritual, sangat cerdas dan menempatkan wanita melebihi laki-laki, karena hanya wanita yang mengetahui dan memahami bahwa di dalam kandungannya ada janin atau bukan, bahkan ada nyawa dalam janinnya, sedangkan laki-laki tidak akan pernah merasakan hal itu, karena laki-laki tidak akan pernah hamil, kecuali hamil-hamilan. Dalam Mandala yang sama, wanita ditempatkan bagaikan “pohon cinta” yang menjadi dambaan setiap insan lelaki, walaupun ini sekedar perumpamaan dalam pelaksanaan upacara suci yang agung, teksnya tertuang dalam sukta 83 sloka 2 sebagai berikut, “apo na upa yanti hotriyam, avah pasyanti vitatam yatha rajah, pracair dewasah pra nayanti devayum, brahmapriyam josayante vara iva.” Artinya, “Seperti air yang mengalir pada mangkuk kependetaan, seperti berkas sinar yang memancar turun dari antariksa, dengan cara yang sama prilaku ilahi dari orang alim pada pelaksanaan upacara suci dan tak sabar untuk menikmatinya, seperti mempelai lelaki merindukan pengantin wanitanya (Maswinara, 1999; 180-181).
Veda dalam berbagai sabda Tuhan mengenai yajna mewacanakan bagaikan liukan aliran air yang gemulai, sinar kejinggaan membuat terpakunya penglihatan mata, yang menuruni gelombang awan merupakan penantian bagi orang-orang suci, dengan kesabaran hati yang tulus bhakti, demikianlah keindahan itu bagaikan kerinduan suami terhadap istri yang terkasih. Veda menunjukkan kepada insani manusia, bahwa wanita tidak selayaknya untuk dinistakan, dicampakkan, wanita harus diperlakukan dengan santun dan sopan, ia adalah Pembawa Vibrasi dan suhu kesucian keluarga. Sehingga Veda menempatkan wanita di mata suami, anak-anak, keluarga dan masyarakat luas sangat harmonis, ia tidak terbedakan, dihina, dicampakkan, bukan sebagai pemuas seks, namun ia sumber inspirasi dan panutan peneguhan kecerdasan mental spiritual, ia pendidik pengasuh-pengasih maupun sinar kemuliaan bagi insan manusia.
Oleh: IB Rai Dwija J.
0 komentar:
Posting Komentar