Apakah Purana?
Seorang guru pasraman menceritakan kepada saya, ia pernah ditanya oleh seorang murid SMP, perihal kisah Dewa Siwa, ketika sangat bernafsu untuk berhubungan dengan istrinya Dewi Parwati (maaf) kamanya (air maninya) keluar dengan sendirinya lalu jatuh ke laut, dimakan oleh ikan dan ikan itu melahirkan seorang anak manusia/kera. Saya sering mendengar kisah ini ketika kecil waktu menonton wayang di desa. Cara ki dalang menggambarkan bagaimana kama itu keluar, melayang dan jatuh ke laut, membuat semua penonton tertawa terpingkal-pingkal. Tetapi cerita yang sama sekarang menimbulkan pertanyaan moral dalam benak seorang siswa SMP: mengapa seorang Dewa tidak mampu mengendalikan nafsu? Guru pasraman ini tidak tahu jawabannya. Belum lagi soal air mani dimakan ikan dan ikan hamil lalu melahirkan mahluk lain, manusia/kera. Itu semua fiksi belaka.
Apakah Purana? Purana berasal dari bahasa Sansekerta yang artinya ”kuno” (ancient), adalah kelompok teks Sanskrit yang mengandung kisah-kisah mitologi di jaman kuno. Purana dianggap smerti atau bukan kitab suci Hindu Weda (non-vedic Hindu Scripture). Purana menjelaskan teks-teks Weda untuk mereka yang dianggap memiliki pengetahuan lebih rendah. Belakangan Purana-purana dikaitkan dengan Trimurti, dan pada jaman pertengahan dengan pemujaan bhakti Visnu dan Siva. Materi Weda lebih awal disusun kembali untuk melayani kepentingan sektarian, dan materi sebelumnya mengenai pengobatan, atrology, kronologi, geografy, taktik militer dan tata bahasa digabungkan ke dalam teks bhakti yang populer ini. Purana dibagi dua kategori: Mahapurana (mayor) dan Upapurana (minor). Masing-masing kategori memiliki delapan belas anggota. Purana menekankan bhakti dan manifestasi ajaib dari kemuliaan Tuhan. Banyak para pemimpin reformasi Hindu, seperti Swami Dayananda Saraswati menyerang religiusitas Purana, namun ia tetap merupakan bentuk dominan dari agama Hindu.
Kamus ”A Sanskrit English Dictionary” yang disusun o leh M. Monier Williams, memberikan beberapa arti dari kata Purana, al: satu hal atau peristiwa dari masa lalu, cerita kuno atau legenda, sejarah tradisional lama.
Yang menolak dan yang membela.
Prof Arvind Sharma, mengatakan Purana merepresentasikan satu bentuk populer – atau dipopulerkan – dari agama Hindu, menggabungkan unsur-unsur asketik dan erotik dan yang suci dan yang profan dengan ketidak-terdugaan yang sama yang mereka jumpai di dalam kehidupan yang nyata. Salah satunya yang paling terkenal adalah Bhagavata Purana, yang mengisahkan kehidupan masa muda Krishna, yang muncul di dalam Mahabarata sebagai orang dewasa. Purana mempunyai arti penting dalam arti mereka menghadirkan dan merepresentasikan agama populer.
Di atas telah disebutkan, Swami Dayananda Saraswati, pendiri Arya Samaj, menyerang Purana. Katanya, Weda mengandung kebenaran. Purana-purana dan tantra penuh dengan kepalsuan. Khusus untuk Bhagawata Purana, Dayananda mengatakan, bahwa penulisnya adalah “seorang mahluk tak tahu malu” (a shameless creature). “Oh! Kenapa penulis Bhagawata Purana dan Purana lainnya tidak mati di dalam kandungan ibunya atau segera setelah mereka lahir? Andaikata masyarakat diselamatkan dari tangan para paus ini (sebutan Dayananda untuk para penulis itu, pen), mereka akan dibebaskan dari rasa sakit, penderitaan yang ditimpakan kepada mereka oleh purana-purana itu.
Kritik Dayananda paling keras adalah mengenai penggambaran Krishna dalam Bhagawata Purana. “Penulis Bhagawata Purana telah melekatkan kepadanya sebanyak kejahatan dan praktek dosa yang dapat dia lakukan. Dia telah dituduh secara palsu dengan berbagai pencurian susu, dadih, dan mentega; perjinahan dengan pelayan perempuan yang disebut Kubja, percumbuan dengan istri-istri orang lain dalam Raas Mandal, banyak lagi kejahatan seperti ini. Setelah membaca kisah kehidupan Krishna ini, pengikut agama-agama lain berbicara buruk mengenai Dia. Seandainya tidak ada Bhagawata Purana manusia mulia seperti Krishna tidak direndahkan secara keliru dalam penilaian dunia.”
Swami Vivekananda juga mempunyai pandangan negatif terhadap Purana. Katanya, “Purana, dibuat oleh orang yang memiliki intelejensi terbatas, penuh kesalahan, kesesatan dan perasaan klas dan jahat. Mereka harus ditolak.” Swami Vivekananda juga mengiritik dengan keras praktek bhakti pada masa hidupnya. Praktik ini hanya membuat orang Hindu lemah.
Sebaliknya Swami Prakashanand Saraswati memuji kebesaran Purana. Dia mengatakan bahwa kebahagiaan tertinggi dari Tuhan dijelaskan di dalam Upanisad dan Brahmasutra ’Dia adalah kebahagiaan mutlak. Dia adalah kebahagiaan tertinggi’. Kata-kata ini tidak memberikan isyarat mengenai kebesaran dari kediaman Yang Suci atau keutamaan (supremasi) dari Kebahagiaan Tuhan karena kemutlakan berada di luar pemahaman manusia. Tetapi deskripsi yang menarik mengenai rincian dari Vaikuntha, sorga Wisnu di dalam Purana memberikan bayangan tentang supremasinya. Kisah lila Krishna yang menggetarkan jiwa, penjelasan rinci menawan hati dari tindakan-tindakan Krishna bermain dengan kawan-kawannya dan para Gopi dari Braj, melukiskan satu citra Krishna yang dapat dipahami keindahan kedewataannya yang tak tertandingi dan kasih Suci menjadi satu-satunya cara bagi seorang bhakta untuk meningkatkan perasaan kasih dan kerinduannya kepada Tuhan, dan ia menyimpan gambaran kasih ini sebagai harta kekayaan di dalam hatinya. Bila tidak ada Purana, bagaimana kita dapat mempelajari semua hal ini yang demikian penting bagi seorang pencari kasih Tuhan. Ini semua adalah hadiah mulia dari Purana (khususnya Bhagawata Maha Purana) yang penjelasannya mengungkapkan kebaikan Tuhan yang tak terbayangkan dan Para Maharesinya atas seluruh jiwa-jiwa dari dunia.
Fokusnya Etika dan Metafisika
Sri Chandrasekharendra Saraswati, menyediakan 25 halaman dari bukunya The Vedas untuk menjelaskan subyek ini, halaman terpanjang dari 25 topik yang dibahas. Purana dapat disebut “Kaca Pembesar” dari Veda, karena kitab-kitab tersebut memperbesar citra-citra kecil menjadi gambar-gambar besar. Ajaran Veda yang tercantum dalam pernyataan-pernyataan kecil diperbesar atau dielaborasi dalam bentuk cerita atau anekdot di dalam Puraana.
Pemaparan sebuah gagasan secara singkat mungkin tidak meninggalkan kesan yang mendalam atau berkepanjangan dalam benak kita. Karena itu mungkin tidak ada dampaknya. Sebaliknya, jika gagasan yang sama disajikan sebagai cerita atau anekdot yang menarik, ia akan melekat dalam pikiran. Mari simak sebuah contoh. Veda hanya menyatakan “Satyam Vada”. Katakan kebenaran. Bagaimana kepatuhan pada kebenaran menuju pada keagungan abadi dikisahkan panjang lebar melalui cerita raja Harischandra. “Dharman Chara ikutilah jalan Dharma atau Kebenaran. Dua kata yang diucapkan Veda digambarkan melalui cerita para Pandawa di Mahabharata. “Matru Devo Bhava”, “Pitra Devo Bhava” – hormati Ibu sebagai Dewi Agung. Hormati ayah sebagai Dewa Agung. Demikian kata Veda.
Semua orang-orang tersebut harus menjalani ujian dan penderitaan yang berat. Tokoh-tokoh teladan itu harus mengalami penderitaan yang lebih banyak daripada orang-orang biasa, yang lazimnya lebih cenderung melakukan pelanggaran. Kadang-kadang mereka menghadapi penderitaan yang hebat. Tetapi, bila membaca kisah mereka, tidak pernah terlintas dalam benak, bahwa karena jalan dharma yang penuh penderitaan, kenapa tidak meninggalkan dharma. Yang paling mengesankan bagi kebanyakan orang adalah rasa tanggung jawab yang tinggi dan keyakinan kuat mereka terhadap jalan kebenaran, walaupun penuh rintangan; hal ini membawa ketenangan mental bagi mereka, dan kita juga. Dengan mengenal cobaan serta penderitaan mereka, hati kita dipenuhi dengan welas asih dan terciptalah perasaan dalam diri seolah-olah keraguan kita lenyap dan ketidaksucian tercucikan. Keberhasilan dan ketenaran mereka meninggalkan kesan mendalam tentang dharma dalam pikiran kita. Itulah yang dilakukan cerita Puraana.
Di Islandia, ditemukan suatu kerangka manusia yang tulang garas (tulang kaki di bawah dengkul) saja berukuran 16 kaki dan tulang belakang seekor hewan yang ukurannya sekitar 10 kali gajah. Temuan tersebut dirayakan dengan suka cita sebagai temuan arkeologis. Berdasarkan gabungan geologi dan arkeologi, dinyatakan bahwa makhluk tersebut sudah ada sekian ratus tahun lalu. Ini dapat membuktikan kisah-kisah Purana tentang raksasa yang berbadan tinggi besar adalah benar. Jika mitologi digabungkan dalam analisis itu, maka cerita Puraana akan menjadi nyata dan dapat dipercaya.
Purana adalah sejarah, tetapi fokusnya bukan peristiwa-peristiwa, melainkan etika dan metafisika. kata Sri Chandrasekharendra Saraswati. Jika Purana dipelajari dengan kerendahan hati dan rasa hormat, serta dengan tujuan memperoleh manfaat, tidak akan muncul kebingungan. Marilah kita secara bijaksana melihat Purana sebagai dibuat semata-mata untuk membawa kebaikan bagi kita. Marilah kita menerima bahwa sedikit penyimpangan dari kebenaran absolut telah dilakukan dengan tujuan baik. Penjelasan Sri Chandrasekharendra Saraswati yang tenang dan mendalam menempatkan Purana pada fungsinya.
0 komentar:
Posting Komentar