Loading...

DILEMA AHIMSA


Ahimsa adalah sebuah konsep yang sangat terkenal dari Agama Hindu. Walaupun pada dasarnya semua agama mengajarkan untuk tidak setuju terhadap pemakaian kekerasan, namun tampaknya Agama Hindulah yang secara khusus menempatkan hal itu sebagai suatu konsep dasar  beragama secara tegas dan menonjol.
Ahimsa Paramodharmah. Ahimsa adalah dharma atau kebajikan yang tertinggi. Demikian sebuah adagium dalam Agama Hindu menyebutkan. Konsep ini terus menerus dikemukakan oleh kitab-kitab suci maupun oleh para pemuka agama  kepada umat.
Keberadaan konsep ini menimbulkan kekaguman dan rasa hormat kepada Agama dan umat Hindu dari orang-orang di luarnya. Namun sebenarnya, bagaimanakah kita memahami konsep tanpa kekerasan tersebut? Secara awam pengertian kita tentang tanpa kekerasan adalah tidak menggunakan kekuatan fisik atau senjata dalam menyelesaikan permasalahan, tidak berkelahi, tidak berperang, tidak menyakiti baik secara fisik taupun secara psikologis. Bagaimana kalau hal tersebut tidak berhasil untuk menyelesaikan suatu masalah? Bagaimana kalau hal itu justru dianggap kelemahan oleh musuh dan dimanfaatkan untuk menghancurkan kita? Pada saat itu, haruskah kita melawan? Membuat pengecualian terhadap Ahimsa? Jika demikian, konsekuenkah kita dengan ajaran Ahimsa sebagai dharma yang tertinggi? Atau kita biarkan saja kita dihancurkan?
Untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan tersebut diatas, marilah perlahan-lahan kita telaah kembali, bagaimana sebenarnya konsep Ahimsa dalam ajaran Agama kita.
Ada dua manusia yang sangat kita kenal. Dua manusia yang “sama” tapi berbeda. Mahatma Gandhi dan Arjuna. Persamaan kedua orang ini adalah sama-sama orang yang  percaya kepada agama, dua orang Penyembah Tuhan yang taat dan setia. Mari kita perhatikan kisah mereka.
Mahatma Gandhi adalah seorang India yang hidup saat India sedang berada pada masa penjajahan Inggris, pada saat India berada dibawah kekuasaan bangsa yang bukan berasal dari tanah tersebut. Nama Gandhi mengemuka saat ia menawarkan opsi perjuangan yang bentuknya sangat ganjil dan tidak pernah terpikirkan oleh siapa pun di dunia ketika itu. Ia menentang penjajahan dan berjuang tanpa kekerasan sama sekali! Orang-orang yang menaklukkan negara dengan kekuatan fisik dan senjata, dihadapi dengan sebuah konsep yang bernama Ahimsa. Tidak ada rencana penyerangan balasan, tidak ada taktik gerilya, tidak ada mobilisasi umum untuk membentuk milisi guna melakukan perang fisik yang bisa disebut perjuangan kemerdekaan. Justru ia menganjurkan untuk tidak menggunakan kekerasan. Melawan, tapi tanpa meggunakan kekerasan. Dan sejarah membuktikan ia berhasil, tentu tanpa mengecilkan arti peran pejuang-pejuang India lain yang menggunakan cara berjuang yang berbeda.
Arjuna hidup di suatu masa di India dimana ia harus menghadapi suatu fakta bahwa ia harus bertempu dengan saudara-saudaranya, sahabat-sahabatnya, dan juga guru-gurunya untuk memperebutkan sebuah kerajaan yang merupakan hak Pandawa. Arjuna dihadapkan pada dilema mental yang luar biasa. Namun, dilema itu adalah awal dari disampaikannya Bhagawad Gita oleh Sri Krsna. Awal dari sebuah pencerahan pada Arjuna tentang keadaan yang sejati yang pada akhirnya membuat Arjuna kembali mengangkat senjata untuk memerangi musuh-musuhnya. Krsna, yang merupakan seorang awatara, pada waktu itu memaparkan suatu ajaran yang ujung-ujungnya justru membuat Arjuna bangkit untuk berperang. Dan, Bhagawad Gita beribu-ribu tahun kemudian, merupakan kitab yang selalu menjadi acuan bagi seorang Mahatma Gandhi yang tidak mau menggunakan kekerasan atau angkat senjata.
Aneh bukan? Bagaimana sebuah Bhagawad Gita yang disampaikan agar Arjuna yang dengan alasan moralitas menolak bertempur akhirnya jadi angkat senjata, justru merupakan salah satu kitab yang mendasari tindakan Ahimsa Mahatma Gandhi? Kenapa Bhagawad Gita memiliki hasil yang bertolak belakang terhadap seorang Arjuna dan seorang Mahatma Gandhi? Atau, benarkah bertolak belakang? Jawabannya adalah : tidak. Tidak ada hasil yang berbeda antara Mahatma Gandhi dan Arjuna. Sebenarnya cara membuktikannya mudah saja. Perhatikanlah sloka berikut ini:

Tasmat tvam uttishtha yaso labahasva
Jitva satrun bhunksva rajyam samriddham
Mayai vai te nihatah purvam eva
Nimittamatram bhava sarvyasachin

Karena itu, bangkitlah engkau dan jayalah
Taklukkan musuh, dan nikmati kerajaan yang sejahtera
Oleh-Ku sebenarnya mereka telah hancur musnah
Jadilah engkau hanya alat belaka, oh Arjuna

(Bhagawad Gita XI. 33, hal 241, Njoman S. Pendit)

Hanya alat belaka! Seorang pembunuh yang menebas leher korbannya dengan sebuah pedang dihukum penjara seumur hidup karena perbuatannya.Benarkah ia yang membunuh korban itu? Sebenarnya pedangnyalah yang menyebabkan putusnya leher dan kematian si korban, tapi pedang itu hanyalah alat untuk membunuh dan nasibnya hanya menjadi barang bukti pengadilan saja. Tidak pernah ada hukum yang memenjarakan si alat sementara pelakunya dianggap tidak bersalah.
Pada saat menyampaikan Bhagawad Gita, Krsna mengangkat kesadaran dalam diri Arjuna sampai kepada tingkat kesadaran bahwa ia hanyalah sebagai alat belaka bagi kekuasaan Tuhan Yang Maha Esa. Bahwa sebenarnya ia tidak mampu berbuat apa pun dan tidak perlu berbuat apa pun, semua kerja telah dilakukan oleh Krsna.
Kesimpulan seluruh Bhagawad Gita sebenarnya adalah kesadaran ini dan didalamnya dibeberkan pula cara-cara untuk mencapai kesadaran itu. Lalu, kapan kita bisa menjadi alat bagi kerja Tuhan? Jawabannya adalah Ahamkara, atau rasa ke-aku-an yang membuat kita selalu merasa bahwa kitalah si pelaku, kitalah yang membuat hal menjadi demikian sehingga untuk menjadi alat caranya adalah dengan menghilangkan rasa ke-aku-an tersebut. Dengan tanpa rasa ke-aku-an itu, maka kerja kita sebenarnya hanyalah mewujudkan kerja Tuhan. Selanjutnya, kita tentu tidak mengharapkan pahala atau hasil dari kerja tersebut karena pada dasarnya kita tidak berbuat apa-apa. 
Demikianlah bila Arjuna adalah pedang dan Tuhan adalah si pelaku pembunuhan, maka sebagai pedang Arjuna terbebas dari segala akibat yang ditimbulkannya karena yang bekerja adalah Tuhan. Namun, tentunya kita haruslah sangat berhati-hati dalam menafsirkan hal ini. Kita tentu tidak boleh melakukan pembunuhan, perusakan, penindasan, atau bentuk kesewenangan lain dengan alasan bahwa kita adalah alat Tuhan. Untuk menjadi alat Tuhan, bukan hanya “tahu” yang dibutuhkan, melainkan “sadar”. Tahu dan sadar amatlah berbeda. Walaupun tahu adalah awal menuju kesadaran, belum tentu orang yang tahu bisa menjadi sadar. Dan sementara kita belum sampai ke kesadaran tersebut, maka semua karma perbuatan kita akan ditimpakan pada kita.
Mahatma Gandhi, walaupun sudah berhasil jauh lebih baik daripada orang lain, memahami inti ajaran Bhagawad Gita dan dengan rendah hati beliau menganggap bahwa dirinya belumlah mencapai kesadaran sebagai alat seperti yang telah dicapai oleh Arjuna. Itulah sebabnya mengapa beliau tidak lantas mengangkat senjata layaknya Arjuna, namun lebih memilih untuk melaksanakan perjuangan dengan cara melakukan Ahimsa.
Sekarang, jelaslah sudah bahwa tidak ada kontradiksi tentang pemahaman Ahimsa dalam ajaran Agama hindu. Bila kita memahami masalah ini secara utuh akan terlihat bahwa perbedaan langkah yang diambil Mahatma Gandhi dan Arjuna adalah sama namun tampak berbeda atau bahkan bertentangan karena ada tingkat kesadaran tertentu yang memang disyaratkan oleh Bhagawad Gita sendiri. Singkatnya, selama kita merasa berbuat dan mengharapkan buah dari perbuatan itu, maka ahamkara masih menutupi kenyataan kita yang sejati. Namun setelah ahamkara berhasil disingkirkan, maka itu semua menjadi kerja Tuhan di dunia. Kita hanyalah alat.

Penulis
Nama : I Wayan Wiharta Nadi  (usia 31 tahun)

15:39 21/05/2015

0 komentar:

Posting Komentar

 
TOP