Loading...

NYEPI & CINTA TANAH AIR

Pawai Ogoh-ogoh

Ketika suku-suku bangsa di Bhumi Bharata sudah jenuh berperang, untuk saling menguasai; memenuhi keinginan, ego (ahamkara) masing-masing. Akhirnya, kesadaranpun muncul bahwa sesama ciptaan Tuhan seharusnya saling menghargai, saling mengasihi sesuai dengan sasanti agung, “vasudaiva khutum bhakam, semua manusia sesungguhnya bersaudara”. Maka dimulailah awal sebuah tahun baru yang diharapkan akan selalu membawa kerukunan antar umat manusia, menimbulkan jiwa-jiwa yang damai, tanpa membeda-bedakan ras, suku, agama dan lain sebagainya. Tahun Baru Saka. Mengapa tahun baru Saka? Karena suku bangsa Saka, walaupun minoritas, namun tersebar di Bhumi Bharata yang mengawali perubahan dari permusuhan menjadi pendekatan budaya, sehingga konflik itu berubah total menjadi kebersamaan, dan kedamaian. Untuk itu, Raja Kaniska dari suku bangsa Yueh Ci, lalu mendeklarasikan bahwa tahun perdamaian itu sebagai Tahun Baru Saka. 
Saat ini, yang masih tertinggal hanya dua wilayah dunia yang merayakan Tahun Baru Saka, dengan pola yang berbeda; disesuaikan dengan kondisi masing-masing. Di India, misalnya perayaan untuk menyambut Tahun Baru Saka ini dilakukan bersamaan dengan perayaan menyambut musim semi, sehingga wujud perayaannya tidak dengan menyepikan diri, tetapi dengan pesta meriah. Sementara di Indonesia, perayaannya tidak dengan pesta, tetapi lebih kepada penyepian. Di Jawa, umat Hindu menyepikan diri sebagai bagian daripada upaya pelatihan spiritual. Masih banyak diantara mereka yang melakukan pati geni atau ngebleng, Nyepi total. Tidak makan, tidak minum, tanpa nyala api dan tanpa penerangan, tidak berbicara, melakukan yoga-samadhi, selama 24 jam. Bahkan ada yang menyepi di sebuah tempat yang jauh dari rumah, di gunung. Di Bali pelaksanaan Nyepi tidak ketat seperti di Jawa. Mungkin tidak banyak yang melakukan seperti di Jawa. Sebelum Nyepi, ada dua kegiatan utama, yaitu Melasti dan Tawur. Pertama, melasti biasanya beberapa hari sebelum Nyepi. Hingga saat ini, Melasti ini mengacu pada dua buah sumber sastra, yaitu Sundarigama dan Aji Swamandala. Keduanya, lebih menonjolkan bahwa kegiatan Melasti di pantai atau samudra. Argumentasinya, samudra memiliki daya lebur dan daya pembersih serta pencucian limbah-limbah jagat. Baik secara fisik maupun metafisik, samudra memang memiliki energi untuk itu. Kemudian, samudra juga menjadi sumber daya alam untuk menunjang kehidupan ini, dan secara simbolis samudra  adalah sumber air kehidupan. Yang lebih mengena, makna yang relevan bahwa samudra adalah sumber daya air yang wajib dipelihara. Sehingga melasti, esensi terpentingnya adalah air yang menghidupi semua mahluk. Oleh karena itu, melasti akan lebih tepat dikatakan sebagai sebuah upaya penyelamatan sumber-sumber air secara spiritual yang kemudian menjadi salah satu kegiatan keagamaan penting bagi umat Hindu. Ajaran Hindu bebas dikembangkan, dalam wujud-wujud budaya manusia yang konstruktif. Demikian pula halnya dengan sumber sastra untuk melasti, yang lebih banyak berbicara tentang samudra, namun tidak pernah melarang untuk melakukan melasti di sumber-sumber air lainnya, seperti danau, waduk, telaga, air terjun, pancuran dan lain sebagainya. Tentunya, tempat-tempat ini cukup bersih dan kalau memungkinkan terpelihara. Karena melasti juga merupakan pola pemeliharaan secara spiritual. Akan lebih ideal, seandainya komunitas Hindu melaksanakan melasti, di wilayah masing-masing yang memiliki sumber-sumber air, sekaligus untuk melestarikannya. Apalagi komunitas ini jauh dari laut. Dan ini sangat memungkinkan, untuk di Bali, misalnya Danau Beratan, Danau Tamblingan, Danau Buyan, Danau Batur dan sumber air lainnya. Di Jawa Timur, misalnya di Jolotundo (Mojokerto), Air Terjun Madakaripura (Probolinggo), Air Terjun Sedudo (Nganjuk), Danau Ranupane (Tengger), Telaga Rambut Monte (Blitar), Tempuran Sapit Urang dan Sendang Batu Belah (kawasan Gunung Lawu). Melasti ke sumber-sumber air di gunung  akan melestarikan tempat-tempat yang memberi kehidupan kepada orang banyak. Jadi, yang dekat pantai silahkan melasti ke pantai, yang dekat gunung, silahkan ke gunung. Masing-masing mempunyai tugas mulia. Sungguh memprihatinkan kalau masih ada pihak-pihak tertentu yang mempermasalahkan melasti hanya boleh ke laut. Sebuah pembatasan dari fleksibelitas dan keagungan ajaran Hindu. Tidak pernah dipikirkan bagaimana sentuhan metafisik sebuah upacara Hindu, walaupun sederhana, terhadap tempat-tempat ini. Beragam tata cara pelaksanaan dan tempat pelaksanaan melasti, namun yang jelas ini adalah sebuah ungkapan cinta terhadap air.
 Kedua, Tawur dilaksanakan biasanya satu hari sebelum Nyepi, saat Tilem Kesanga. Sebuah upacara Bhuta Yajna, berupa caru dengan berbagai kelengkapannya. Sasarannya, harmonisasi seluruh dimensi alam semesta. Jarang sekali pelaksanaan Tawur di pantai, kecuali Nangluk Merana ada yang dilakukan di pantai. Umumnya Tawur di Catus Pata (perempatan agung) atau di halaman Pura atau di alun-alun. Di manapun dilaksanakan, yang jelas obyeknya adalah bumi, walaupun dikatakan sasarannya alam semesta dan isinya. Dan yang dilakukan adalah semacam penebusan atas segala kesalahan karena telah mengeksploitasi bumi secara berlebihan. Memang ini dilema dan kontrovesi. Di satu sisi, makanan dan minuman berasal dari bumi pertiwi, tetapi di sisi lain setiap hari kita mencemarkan bumi dengan membuang sampah, kotoran dan lain sebagainya. Kemudian kita menyakitinya dengan berbagai alasan, kita melukainya untuk membangun permukiman manusia. Hutannya ditebang habis-habisan, dengan semangat keserakahan dan kerakusan. Lalu siapakah yang kemudian “mengobati” kekecewaan dan sakit hatinya. Dan itulah sesungguhnya nilai metafisik yang terkandung dalam sebuah upacara Tawur. Menebus kesalahan, akibat keserakahan manusia. Andaikata saja semua manusia mencintai bumi dan akrab serta mengasihinya, maka bumipun akan mengasihi manusia, tidak seperti sekarang ini. Bencana di mana-mana, manusia menjerit tetapi tetap tidak menyadari kesalahannya. Melalui Tawur, umat Hindu mewujudkan cinta kasihnya kepada bumi. Melasti dan Tawur adalah wujud Cinta kepada Tanah Air! Tanah Air Indonesia! Lalu bagaimana halnya dengan Nyepi? Lingkupnya jelas jagad alit, manusia. Lebih banyak bersifat internal. Menyepikan diri dengan catur brata, pengendalian diri. Untuk mengasihi dan mencintai tanah dan air, perlu “menyepikan” sifat-sifat buruk yang berkembang liar dalam jiwa-jiwa manusia. Apapun alasannya, manusia harus berusaha untuk itu. Catur brata merupakan sebuah konsep terpadu untuk mengendalikan diri dalam kehidupan ini. Dari keempat brata tersebut, muncul sebuah esensi bahwa manusia harus berupaya untuk mengendalikan ego (ahamkara) dan semua produk-produk negatif yang dihasilkannya, serta berupaya menumbuhkan budi luhur. Nyepi merupakan sebuah momentum penyadaran diri untuk berperilaku lebih baik lagi. Semoga.

Oleh : D.K.Suratnaya
   

0 komentar:

Posting Komentar

 
TOP