Ilustrasi Aswatama melawan Arjuna dengan panah Bramastra |
L
|
elaki terakhir
yang masih ingin melanjutkan peperangan, pasca tewasnya Duryudana adalah putra
Drona. Ia tak rela,melihat pengorbanan ayahndanya tanpa mesti memetik buah
kemenangan di kubu Kurawa. Akhirnya,berkat restu Duryudana sebelum menemui
ajal. Lelaki itu,melakukan perbuatan nista. Dalam rerangka pikirnya,perang
adalah keputusan hina yang diambil oleh kelompok manusia. Kenapa ia tak berani berbuat hina? Orang lain
berani berjuang demi satu tujuan, kenapa ia harus menjadi pengecut? Ia besarkan
hatinya,demi cinta Kurawa yang telah mengangkat harga diri keluarganya dari
sorot rendah mata Drupada. Saat malam tiba, ia bakar tenda-tenda putra-putra Pandawa
dari rahim Drupadi. Belum puas,lantas membantai dengan pedangnya sendiri
perwira-perwira Pandawa yang sedang tertidur pulas. Kemudian menjerat leher
Drestajumena dengan tali busurnya hingga tewas. Ia seperti kesurupan, tanpa
kendali. Kalau tak ada Yuyutsu, barangkali kemenangan Pandawa di Kuruksetra
hanyalah cerita kosong. Kekalahannya hatinya melawan sikap Yuyutsu menyebabkan
dirinya harus menjadi pelarian. Bersembunyi di tengah belantara.
Hari yang cerah. Di puncak bukit, padang ilalang tumbuh
subur. Ia mengaca pada angin. Dan merutuki dirinya yang selalu kalah. Kemarahannya muncul lagi. Dicabutinya
ilalang-ilalang liar, lalu mencari tempat yang sedikit nyaman. Ilalang itu
dirangkainya, berpasang tiga. Indah. Menyerupai trisula Siwa. Hampir ribuan
jumlahnya. Rangkaian ilalang itu dikumpulkan, lalu diikatnya.“Ilalang ini akan
membantuku, mewujudkan impianmu Ayah!”gerutunya pada sunyi, tersungging segurat
senyum licik. Hari mulai senja. Aswatama bangun dari duduknya, sembari
memanggul segulung ilalang, ia mencari tempat berteduh. Menuruni perbukitan. Kemudian
menemukan gua buntu, di sanalah ia istirahat. Melewatkan malam.
Tidak jauh dari gua. Berdiri
pertapaan, yang dikitari pasraman tempat pemujaan ayat-ayat Weda. Murid-murid
asram,petang itu,melantunkan sloka-sloka Catur Weda. Tembangnya terbawa angin.
Menyentuh gendang telinga Aswatama. Pemuda itu terjaga. Pikirannya pun
disatukan setajam-tajamnya. Hatinya terhibur, gulananya pun lebur. Sinar
wajahnya mulai tenang. Setenang malam “O,pertapaan
siapa gerangan di lembah bukit sini ?”tanya
batinnya. Tak disadarinya,demikian dekat dirinya dengan pertapaan Maharsi
Wyasa.
***
Suasana berkabung sangat terasa di
kubu Pandawa. Kentara sekali isak tangis Kunti, menutup mukanya dengan kerudung
sari. Tangannya yang renta membelai-belai cucu-cucunya yang legam terbakar api.
Kulit mereka lepuh matang. Baru saja rasanya, sore kemarin, mereka menemui Eyang Putrinya.
Penuh keceriaan canda dan tawa menyambut kemenangan kubu Pandawa. Hari ini
terkapar tak bernyawa. Perasaan siapa yang tak tergugah,memperoleh kenyataan
seperti ini. Tubuhnya terguncang-guncang
menahan isak yang semakin menjadi.
Di belakang Bunda Kunti, lelaki
berwajah tampan, Arjuna larut dalam kesedihan. Matanya tak hentinya memandang
Drupadi yang sedang bengong, menatap nanar ke ruang kosong. Tanpa harapan. Air
matanya,telah habis terkuras sejak tengah malam kemarin. Kini ia hanya bisa
mengutuki perbuatan Aswatama yang dinilainya tidak memiliki hati nurani. Hanya
binatang yang bisa menyamainya.
Dari jauh seorang bertubuh tegap,
berkulit agak gelap setengah berlari menuju mereka. Rambutnya yang tergerai
lepas dengan kumis tipis mengiasi wajahnya. Bersinar bak cahaya rembulan.
Dialah, Prabu Kresna. Awatara Wisnu yang menjadi tulang punggung kemenangan
kubu Pandawa.
“Arjuna, aku dengar Bima menyusul
Aswatama ?”
Arjuna mengangguk.
“Celaka…”
Arjuna menatap Sri Kresna lekat.
“Kalau engkau ingin melihat kakakmu
kembali dengan selamat. Segera susul ia. Bima tak akan menang melawan
Aswatama…”
“Mana mungkin Kanda Bima bisa kalah
?!”
“Kalau Drona menganugerahkan bramastra
tiada tandingnya di dunia pada murid kesayangannya, Arjuna. Mana mungkin, Rsi
Drona tidak mewariskan brahmastra yang
lebih hebat dan mempunyai kekuatan yang sama, bahkan lebih darimu pada putra
semata wayangnya.”
Wajah Arjuna berubah pucat. Drupadi
pun terjaga mendengar pernyataan Kresna.
“Jangan bantah Prabu Kresna! Lekas
bantulah Kakandamu melawan si durjana Aswatama. Aku tak rela Bima bernasib sama
dengan Drestajumena,”kata Dewi Kunti Nalivrata di sela isak tangisnya.
“Jangan gusar, aku menyertaimu
Arjuna.”Suara Sri Kresna mantap.
***
Aswatama di atas batu pipih, sedang meditasi. Tubuhnya memancarkan
sinar merah. Rupanya ia mengeluarkan ajian andalannya. Tangannya mengenggam
segempok ilalang berujung tiga. Mulutnya komat-kamit, mengeluarkan astra
mantra.Tiba-tiba ilalang dalam genggamannya melesat bagaikan roket.
“Ha…ha…ha…musnahlah kalian Wangsa Pandawa. Benda ini, akan melumatkan bayi-bayi
yang ada di setiap rahim istri Wangsa Pandawa…ha…ha…ha…!”gelaknya memecah angkasa.
Ilalang itu pun meluncur mencari tempat peristirahatan Pandawa.
Dalam perjalanan mengejar Bima. Di samping Arjuna, Sri Kresna bergetar
hebat. Indra keenamnya merasakan bahaya mengintip. Jelas sekali penampakannya,
ia melihat sekumpulan ilalang susul menyusul bagaikan gelombang air bah menuju
ke kubu Pandawa. Ia pun berdiri seperti patung. Melakukan meditasi padasana.
Dari sinar di kepalanya keluar cakra. Cakra itu berubah menjadi beribu-ribu cakra yang lebih kecil melesat
mengejar ilalang tadi.
Saat sebatang ilalang hendak
menyentuh tubuh Dewi Utari. Tiba-tiba dari arah lain sebuah cakra berputar
melibas ilalang. Keduanya, luruh menjadi abu. Dewi Utari selamat. Bima pun
dalam pengejaran tak luput dari serangan ilalang. Namun ia lebih sigap, gada saktinya
mengantam ilalang tadi. Puluhan ilalang hancur berkeping-keping. Penciumannya
yang tajam, dapat mengendus asal-usul ilalang. Benar saja, ia menemukan orang
yang melepas senjata rahasia. Kedua tangannya asyik bermain ilalang.
“Aswatama, jangan main bokong begitu, hadapi aku secara
jantan!”pekiknya menggelegar.
Aswatama menoleh. Pertikaian pun tak terelakkan. Mereka saling
serang, Bima bersenjata gada. Aswatama bersenjata tombak pendek. Saat gada
bertemu tombak, percik api keluar dari senjata digenggaman mereka. Cukup lama
mereka bertarung, nampaknya sama-sama digjaya. Aswatama mulai bosan. Ia
melangkah ke belakang sejauh tujuh tombak. Lalu ia komat-kamit mengeluarkan
senjata andalan brahmastra warisan Rsi Drona, ayahndanya. “Aku memang tak mampu
menjinakkan senjata ini. Namun aku yakin ia akan memakan korban pada dirimu,
Bima. Kalau ia mampu membunuhmu,aku yakin senjata ini akan kembali pada
tempatnya.” Sehabis itu,maka keluarlah
asap dari dalam bumi. Lama kelamaan semakin menebal membentuk seekor ular naga yang
siap menerkam Bima. Pada saat bersamaan berkelebat dua sosok pria gagah. Yang
berkulit agak gelap membisiki telinga lelaki berkulit langsat.
“Arjuna, sudah saatnya engkau melepas bramastra pemberian gurumu.
Jika engkau ingin Bima selamat!”
Arjuna pun bersimpuh. Tubuhnya memancarkan rona warna-warni yang
kemudian membentuk sinar bergulung-gulung menyerupai naga, menyambut naga yang dilepas Aswatama.
Terjadilah pergumulan dahsyat. Bumi bergetar hebat. Gempa dahsyat, membelah
tanah. Pohon-pohon besar bertumbangan.
Nun di lereng bukit,dari langit melesat bintang berekor. Jatuh tepat
di depan pertapaan Bhagawan Wyasa. Bintang itu, ternyata Dewa Narada.
“Terimalah sembah hamba wahai Dewa penguasa dunia.”
“Lekaslah kita cegah, kalau
terlambat bumi akan meledak terbelah dua oleh senjata warisan Bhargawa yang
diwariskan pada Drona.”
Mereka pun menghilang, Rsi Wyasa membayangi meditasi Aswatama.
Sedangkan Dewa Narada mendatangi tapa Arjuna.
“Wahai,putra Drona. Tariklah kekuatan saktimu,agar bumi terhindar
dari kehancuran!”
“Maafkan diriku, Maha Bhagawan. Aku tak secerdas Arjuna, yang mampu
menjinakkan senjatanya.Pun kalau aku berhasil menjinakkan nyawaku taruhannya!”
Maha Rsi Wyasa tersenyum. “Kalau aku bisa, apa konsekwensinya ?”
“Semua permintaan Bhagawan akan hamba kerjakan…”
“Aku meminta padamu untuk memohon ampun pada Pandawa. Kamu memang
tak bisa mati, namun mustika di kepalamu harus engkau serahkan pada Drupadi
tanda kekalahanmu…”
Aswatama ragu, hanya mustika itu milik satu-satunya. Namun, nasi telah
jadi bubur. Ia pun mengangguk rela. Tanpa susahpayah, Maha Rsi Wyasa berhasil
menaklukan naga Aswatama. Ia pun masuk ke dasar bumi. Otomatis pula, saat
bersamaan Arjuna menarik brahmastranya. Ketika Aswatama menyerahkan mustika di
dahinya pada Bima. Sri Kresna sempat mengutuknya,”Wahai Aswatama,manusia tak
bernurani,yang lebih rendah dari tabiat binatang. Betapa teganya kamu
menghabisi nyawa anak-anak di bawah umur. Jiwamu tak akan pernah tenang,
kendati engkau mencapai kesempurnaan keinginanmu. Pergilah kamu dari tanah
Bharata. Janganlah pernah berpikir untuk kembali!”
Putra Drona menunduk lesu, ribuan sesal menumpuk di hati. Sepasang
kakinya, gontai menuju arah Barat. Tanpa kenal lelah. Akhirnya, perjalanan
langkahnya terputus di tanah pasir tandus. Tiada kehidupan. Jiwanya merana. Kendati
pada akhir hayatnya, pikiran-pikirannya menjadi oasis penghuni padang gurun.
***
ASWATAMA, LELAKI TERAKHIR PELANJUT KURAWA
Penulis PNS, tinggal di Mataram
0 komentar:
Posting Komentar