Loading...

SEJARAH AGAMA HINDU DI JAWA


Seputar tahun l967 eksistensi agama Hindu di Jawa mulai nampak ada. Pemeluknya orang-orang Jawa, yang umumnya berasal dari kalangan petani di pedesaan.  Ada sedikit pegawai negeri dan swasta, tetapi jumlahnya tidak banyak. Mereka menghindukan diri lewat “penyudiwadanian masal” oleh para pedanda Bali, yang pelaksanaannya diatur oleh Majelis Tertinggi Agama Hindu, Parisada Hindu Dharma Indonesia. Sejak saat itu Parisada menjadi payung sekaligus pelayan umat Hindu di Jawa. Wajar bila para pengurus Parisada tingkat propinsi dan kabupaten umumnya berasal dari Bali, sebab orang Jawa masih dalam tingkat “belajar” dan minim pengetahuan tentang “organisasi keagamaan”. Meski para pengurus terdiri dari berbagai kalangan profesi dan kebanyakan bukan agamawan, bahkan “trisandhya” pun masih sama-sama belajar, namun umumnya mempunyai “dedikasi amat tinggi” karena merasa “terpanggil” untuk mengabdi, sesuai amanat leluhur. Umumnya semua yakin bahwa “suatu saat” Hindu akan ke “mbali”.
Ceritera tentang “kebangkitan” Hindu di Jawa, sejak tahun l967 itu telah lama terjadi,  sudah 37 tahun yang lalu. Kurun waktu selama itu memang cukup lama dan panjang, tetapi bagi eksistensi sebuah agama sebenarnya belum apa-apa, teramat muda dan masih mencari bentuk sembari mendewasakan diri. Sementara itu berbagai perubahan telah terjadi, seiring bertambahnya tuntutan jaman. Hal itu seringkali membuat kita “gamang” dan ragu-ragu melangkah. Terhadap apa saja kita terkesan ragu-ragu, terlebih ketika ada pertanyaan “bisakah eksistensi Hindu Jawa dipertahankan?” Keraguan itu seharusnya tidak perlu terjadi, kalau Parisada, sebagai majelis agama tertinggi, menjadi semakin dewasa. Tetapi rupanya organisasi ini masih belum mau beranjak .Peranannya masih tetap itu-itu saja, sebatas payung, belum sebagai pelayan umat yang bijak dan gesit.  Keadaan ini membuat eksistensi Hindu di Jawa menjadi teramat rawan.
Ada beberapa hal yang dulu tidak ada sekarang ada, yang perlu disimak dan diatasi secara bijak. Antara lain santernya jargon “back to weda”, istilah “balinisasi”, adanya “sampradaya”, anjuran kembali ke “tradisi”, dll, yang salah-salah bisa menimbulkan perpecahan intern, dikotomi antara Jawa dan Bali dan tumbuhnya sekte-sekte keagamaan baru. Hal yang demikian tentu amat berbahaya bagi perkembangan Hindu di Jawa, yang masih “mencari bentuk”. Umat Hindu Jawa harus diarahkan pada perilaku beragama secara benar dan berkebudayaan dengan nafas Hindu, bukan sekedar berbeda KTP dengan tetangganya.  Untuk itulah di usia senja ini, sengaja saya buat tulisan, sekedar untuk direnungkan, syukur dapat menjadi “pedoman”, agar tujuan kita “membangun masyarakat Hindu Jawa yang Arjawam” bisa tercapai. Agama baru mempunyai arti bila berhasil memanusiakan manusia, yang diejawantahkan dalam etika dan estetika pemeluknya, berupa bermacam  “budaya religius dengan nafas Hindu yang berhasil memperindah alam dan lingkungannya, Jawa”. 

Perjalanan Hindu di Jawa Timur dan Bali.
Bahwa wilayah Hindu dahulu meliputi Nusantara kita sudah tahu. Tetapi di sini kita tidak bicara tentang Kutai dan Tarumanegara, tetapi khusus tentang Jawa Timur dan Bali saja, terutama Bali, Tengger dan Jawa Timur. Tiga daerah itu berdekatan, tetapi mempunyai corak budaya berlainan, akibat berbeda dalam perjalanan sejarah. Ketiga daerah ini, sampai kapan pun, masing-masing pasti mewujudkan diri dengan corak budayanya yang khas. Budaya adalah hasil kreatifitas manusia dalam usahanya memenuhi tuntutan kebutuhan hidup lahir batin, karena itu ia akan selalu berkembang seirama perkembangan masyarakatnya. Perkembangan masyarakat Bali, Jatim dan Tengger yang tidak sama  akan berpengaruh pada psikososial masyarakatnya, hingga corak dan warna budayanya pun tidak akan sama. Ia akan ditentukan oleh “desa, kala, dan patra” masing-masing, termasuk latar belakang sejarah yang pernah dialaminya.
Mungkin awalnya Bali lebih dulu Hindu daripada Jawa. Adanya aksara Bali, 18 huruf,   yang merupakan hasil evolusi dari huruf “dewa nagari”, menunjukkan bahwa aksara itu awalnya datang ke Bali. Kemudian ia dibawa ke Jawa dan berubah menjadi 20 huruf  karena ditambah dengan 2 huruf lagi. Orang Jawa perlu huruf “ta dan da” di samping “tha dan dha”. Pembawanya mungkin seorang brahmana dari “suku bangsa Saka di India” karena itu mendapat sebutan “Sang Aji Saka”. Apakah sang Aji Saka itu Maharshi Agastya, kiranya masih perlu penelitian lebih lanjut. Karena dibawa oleh orang-orang India, awal perkembangan Hindu di Bali, tentunya diwarnai dengan banyak sekte keagamaan seperti di daerah asalnya. Tetapi di Jawa ada sedikit perbedaan, sekte-sekte yang ada tidak sebanyak di Bali. Hal itu disebabkan, kecuali datangnya tidak langsung dari India, secara tradisional Jawa diperintah oleh raja-raja besar, yang  berkuasa atas negara dan agama, hingga perkembangan sekte-sekte bisa terkendali. Kata-kata “wiku tanpa ratu rug, ratu tanpa wiku sirna”, “sabda pandhita ratu”, dan “syayidin panata gama”, yang menunjukkan besarnya kekuasaan raja, adanya di Jawa.
Sewaktu pemerintahan Raja Erlangga agama Hindu dan Budha berkembang di Jawa, khususnya Jawa Timur. Anehnya kedua agama ini tidak berbenturan, tetapi malah saling melengkapi hingga terjadi akulturasi budaya. Padahal di daerah asalnya timbulnya agama Budha dianggap sebuah “reformasi”, yang menimbulkan perpecahan dan berhasil membuat jasirah India terpecah menjadi kerajaan-kerajaan Hindu dan Budha. Persatuan itu bisa terjadi karena para leluhur Jawa adalah orang-orang bijak, yang meyakini bahwa “jinna tatwa dan ciwa tatwa itu tunggal”, hingga “yang nampak bhinneka itu sebenarnya tunggal ika”. Maka terjadilah corak agama Hindu Jawa yang khas, yaitu “Ciwa Budha”, sementara di Bali masih terpecah dalam sekte-sekte. 
Bagi orang Jawa, keunggulan agama Hindu adalah pada “Jnana dan bhakti”, sedang pada agama Budha adalah ajaran dan kewajiban “samadi atau meditasi”. Pada dasarnya orang Jawa gandrung pada ilmu pengetahuan (sangkan paraning dumadi) dan ilmu meditasi (yoga), yang dikenal dengan istilah “semedi”. Orang Jawa menganggap agama Hindu “kaya ilmu” tetapi  “pelit ajaran persemedian”, sedang di agama Budha “pelit ilmu” tetapi “persemedian merupakan kewajiban”. Kebutuhan itu terpenuhi ketika terjadi kesatuan antara agama Hindu dan Budha, dimana keduanya saling melengkapi, ilmu dari Hindu dan persemedian dari Budha. Rupanya hal ini memuaskan semua fihak, hingga di jaman Erlangga terjadi suasana damai sejahtera dan kebudayaan Hindu pun berkembang mencapai puncaknya. Nama-nama brahmana dan pujangga terkenal ada di jaman ini dan bermunculan dan karya-karya besar, seperti “Sotasoma”, “Siwaratri Kalpa”, “Arjuna Wiwaha”,  “Dewa Ruci” dan lain-lain. 
Kiranya suasana seperti itu mengilhami Raja Erlangga, yang putra raja Udayana Bali, untuk menerapkannya di Bali. Maka diutuslah Empu Kuturan, yang pandhita Budha, untuk “menangani” Bali, disusul kemudian oleh Empu Bharadah, saudaranya. Dua brahmana bersaudara dari Jawa inilah yang kelak terbukti berperan amat menentukan dalam memberi warna kehidupan agama Hindu. Di Bali Empu Kuturan berhasil menyatukan sekte-sekte keagamaan dengan jalan “kompromi”, tanpa merendahkan satu sama lain. Wujud dari “kompromi” itu adalah terjadinya sarana kelengkapan sesaji dan bebanten khas Bali yang bermacam-nacam dalam satu kesatuan, di mana masing-masing sekte terwakili oleh simbol-simbol tertentu. Itu menyebabkan terjadinya sarana kelengkapan sesaji yang “besar” dan terkesan “wah” dalam “satu kesatuan yang utuh”, yang pada gilirannya dikenal sebagai sesaji “khas Bali”. Sesaji besar itu sebenarnya merupakan pemecahan brilian dari seorang Mahareshi bijak yang berhasil  menghimpun  berbagai sekte hingga lebur menyatu. Keseluruhannya merupakan sistem simbol, di mana beragam komponen sarat makna menyatu, saling dukung dan melengkapi. Maka sejak saat itu corak budaya Hindu di Jawa dan Bali mulai berbeda.  Bila di Bali corak “Ciwa Budha” tercermin dengan jelas dengan tetap menempatkan Pedanda Budha sejajar dengan para brahmana Ciwa, sedang di Jawa orang lebih suka memperdalam ilmu, dengan menempatkan “persemedian” dalam porsi utama. 
Bila Empu Kuturan berhasil “menangani” Bali, Empu Bharadah malah dipanggil kembali ke Jawa untuk mengatasi berbagai masalah. Antara lain wabah penyakit yang ditimbulkan oleh “tenung” Janda dari desa Gurah (Rangda Girah), yang di Bali dikenal dalam ceritera “Calonarang” dan kemelut akibat suksesi kepemimpinan di kerajaan Kediri. Yang terakhir ini diatasi dengan membagi kerajaan menjadi dua, yaitu kerajaan Daha (Kediri) dan Jenggala (Sidaharja). Dua kerajaan inilah yang nantinya melahirkan kisah-kisah Panji, yang di Bali dikenal sebagai ceritera Arja dan di Jawa menjadi dasar ceritera Kethoprak. Baik Calonarang maupun kisah Panji (arja) lebih dikenal di Bali daripada daerah asalnya, Jawa. Berbagai peninggalan dua brahmana bersaudara itu  tersebar di Bali dan di seputar Kediri/Blitar (Empu Bharadah). Di Kediri ada padepokan “Lemah Tulis”, sedang di Blitar ada Gong “Kyai Pradah” (Lodaya), Candi “Watu Lawang” (Plumbangan), Telaga “Rambut Monte” (Krisik) dan lain-lainnya.
Berdasarkan ceritera sejarah di atas, sebenarnya corak budaya agama Hindu di Bali dan Jawa awalnya selatif sama. Keadaan berubah setelah jatuhnya kerajaan Majapahit. Kekalahan Majapahit berakibat surutnya Hindu di Jawa. Menyebaran Agama Islam terjadi dan secara sistematis eksistensi agama Hindu dimatikan. Simbol-simbol agama Hindu, baik berupa bangunan, lontar-lontar, dan berbagai karya budaya yang lain  dihilangkan. Hampir semua yang berbau “Majapahit” lenyap. Perubahan pandangan hidup ini mendorong terjadinya  perpindahan penduduk Jawa secara besar-besaran, yaitu: 
1. Sebagian orang Jawa pindah ke Bali, dengan tokoh utamanya Dahyang Dwijendra. Kedatangan beliau, membuat Bali mendapat sentuhan Jawa. Belajar dari kekalahan Majapahit, Dahyang Dwijendra, yang ingin menjadikan Bali sebagai benteng agama Hindu, mulai mengadakan berbagai pembaharuan. Untuk itu perlu dukungan  kuat dari para raja di Bali. Maka motto Majapahit “ratu tanpa wiku rug, wiku tanpa ratu sirna” diterapkan. Hasilnya raja dan brahmana pun berdiri sejajar, menyatu dan saling melengkapi, hingga peranannya menjadi “amat dominan”.  Di luar dua warna itu, masyarakat terbagi dalam sistem pembagian kerja (profesi) secara ketat. Menyatunya kepentingan agama dan pemerintahan menjadikan semua budaya Bali bersifat religius, yang pada gilirannya dikenal sebagai “adat” Bali. Salah satu karya monumental Dahyang Dwijendra adalah “Padmasana”. Adanya padmasana amat berarti bagi eksistensi Hindu modern. Ia mampu menepis anggapan bahwa Hindu bersifat “polytheisme”. Karena itu tidak memerlukan lagi adanya sekte-sekte dan aliran-aliran. Dalam pandangan Hindu, Tuhan adalah Acintya yang keagungannya termanifestasi dalam ciptaaNya. Hindu semacam inilah yang membuat ajaran “Tri Hita Karana” menjadi kuat mengakar, dan terwujud dalam budaya agama, seperti Nyepi, Galungan, Pagerwesi, dll. Di Bali bahkan diimplementasikan pada tiap  lingkungan keluarga berupa unsur palemahan, pawongan dan pemerajan. Inilah sebenarnya Hindu Jawa, yang dilestarikan dan dipertahankan selama ratusan tahun di Bali, yang kemudian dikenal sebagai Hindu Bali dan kini menjadi “model” Hindu Indonesia.
Untuk menjadikan pulau Bali sebagai benteng agama Hindu, Maharshi Dwijendra menjadikan hampir seluruh denyut kehidupan masyarakat Bali tertumpu pada jalan “bhakti dan karma”, bukan lagi “jnana” dan “yoga”, seperti dalam Ciwa-Budha. Bhakti Marga berarti wajib menjalankan bermacam “upacara keagamaan” secara ketat dan terus menerus agar tertanam “disiplin” yang tinggi, sedang Karma Marga menanamkan keyakinan tentang adanya “Hukum Karma” untuk menumbuhkan kadar moralitas yang tinggi. Keduanya berhasil, hingga menjadikan masyarakat Bali terlatih untuk “berkarya sebagai yadnya”.  Akibatnya budaya Bali pun bersifat amat religius dan merupakan “karya seni yang bermutu tinggi”, karena karya diyakini bernilai “yadnya”. Itulah yang pada gilirannya membuat Bali mengundang decak kagum para pengunjungnya, hingga menjadikannya sebagai tempat tujuan wisata dengan popularitas mendunia. Sejak saat itu seluruh denyut kehidupan Bali, termasuk aspek ekonominya, tertumpu pada “bhakti marga”, sedang jalan “jnana” dan “yoga” seolah tersisih. Mungkin dua marga ini sengaja disisihkan, karena dinilai kurang membentuk “fanatisme”, hingga kurang efektif untuk menjadikan Bali sebagai “benteng” agama Hindu yang tersisa. 
2. Dengan runtuhnya Majapahit, sebagian orang Jawa ada yang tetap mempertahankan agama Hindu. Sebagian dari mereka menyingkir  ke seputar puncak Gunung Brama, yang disebut wilayah Penggunungan Tengger. Di sana mereka tetap mempertahankan Hindu jaman Majapahit, yang kini disebut “tradisi” Tengger. Tradisi adalah budaya lama yang telah kehilangan dasarnya, hingga hanya dianggap hanya sebagai warisan kebiasaan nenek moyang secara turun temurun. Bila dasar falsafahnya diketahui dan ditanamkan kembali, maka tentunya tradisi itu menjadi “budaya agama” lagi. Konon pada jaman Majapahit, Tengger adalah daerah “perdikan”, daerah bebas pajak dengan “kewajiban khusus”, yaitu “mengadakan upacara di gunung Brama” demi kemakmuran seluruh wilayah kerajaan Majapahit. Tradisi itu tetap dilaksanakan sampai sekarang. Dengan menggunakan perhitungan “sasih” atau “mongso” mereka melaksanakan upacara “Kasada”, “Karo” dll. Kalau dalam ritual Hindu terdapat istilah “nyegara gunung”, mungkin tugas pokok masyarakat Tengger adalah yang “gunung” itu. Pimpinan setiap upacara adalah seorang “dukuh” atau  “tetua adat” yang dianggap telah dikenal hingga bisa berhubungan dengan sang “penguasa gunung”. Sebutan “dukuh” ini akhirnya berubah menjadi “dukun”. Posisi dukun ini mungkin sejajar dengan peranan “klian yang sekaligus pemangku” Merekalah “manggala upacara” dalam berbagai ritual keagamaan. Berbagai upacara tradisi menunjukkan bahwa budaya Tengger pun implementasi dari ajaran “Tri Hita Karana”. Mereka amat menghargai Alam, menjunjung tinggi kerukunan dan amat bhakti kepada Tuhan, dengan melewati “penghormatan leluhur”.
3. Sedang masyarakat Hindu yang tertinggal di Jawa, setelah jatuhnya Majapahit, umumnya beralih memeluk agama Islam meski dalam kadar ketaatan yang beragam. Istilah yang dikenal luas adalah, menjadi Kaum Putihan dan Kaum Abangan. Yang terakhir ini konon amat terpengaruh oleh ajaran Syeh Siti Jenar, yang ajarannya mirib ajaran Hindu. Karena itu meski memeluk Islam, mereka masih melaksanakan hal-hal yang berbau Hindu. misalnya: melaksanakan upacara manusia yadnya, pitra yadnya, dewa yadnya, dll, dengan mengadakan “slametan”. Hampir semua upacara diselesaikan dengan “slametan”, misalnya untuk upacara sedekah bumi, jalanidi puja (labuh), siklus kelahiran sampai kematian, nyekar, bersih desa, dan banyak lagi yang lain. Mungkin karena agama Hindu telah menyatu dengan jiwanya, sementara keadaan telah berubah, maka mereka mengemplementasikannya dalam bentuk “budaya agama” baru, yang dianggap “cukup” dan “aman”. Maka terjadilah bentuk-bentuk sinkretisme keagamaan, yaitu percampuran ajaran Hindu dengan Islam, yang diberi label “tradisi”. Hal ini nampak pada “slametan”, yang percampurannya bukan hanya sekedar dalam “ujub” dan “doa”, tetapi juga pada hal-hal yang amat “mendasar”. Faham inilah yang umumnya dinamakan “faham kejawen”, yang menjadi dasar dari berbagai “aliran kebatinan” atau “kepercayaan terhadap Tuhan YME”.  Tokoh-tokoh mereka umumnya amat mendalami falsafah Hindu (jnana) namun sering “membanding-bandingkan dengan ajaran Islam”, hingga sering terjadi gesekan. Mereka umumnya akrab dengan ceritera “Sabdo Palon”, Dharma Gandul, dll, yang umumnya berujung pada kerinduan datangnya kembali “kebesaran Majapahit”, impian yang memancing perpecahan. 
Beberapa teori mengatakan bahwa untuk memudahkan masuknya agama Islam di Jawa, para wali terpaksa memakai pendekatan budaya tradisi, terutama untuk hal-hal yang bersifat “ritual”, dimana nafas Hindu “paling sulit dihilangkan”. Para Wali membolehkan pemakaian gamelan, pertunjukan wayang, dan upacara “slametan”, meski  makna dan ceriteranya banyak yang sengaja “dibelokkan”. Misalnya tokoh Dharmaputra yang  dalam “Mahabharata” moksa, dikatakan baru bisa moksa setelah diajar membaca “Serat Jamus Kalimasada” oleh Sunan Kalijaga, yang isinya tak lain adalah “kalimah syahadat”. Nama-nama catur sanak diganti dengan nama-nama sahabat nabi Mohammad, yaitu Abu Bakar, Usman, Umar dan Ali. Dewa-dewa Hindu adalah keturunan Nabi Adam, Pandhita Durna bercitra amat buruk, dll,  belum lagi masalah perhitungan saat, misalnya upacara kematian 42 hari menjadi 40 hari, 108 hari menjadi 100 hari, yang bersumber dari ajaran Islam. Hal-hal yang  demikian itu  menjadi kebiasaan selama beratus-ratus tahun, hingga akhirnya “mentradisi” dan dianggap sebagai ajaran “Hindu Jawa”, tanpa menyadari bahwa itu sinkretisme. Sementara itu ajaran “jnana” dan “yoga” masih tetap hidup dan berkembang, karena dipandang “aman” untuk tetap dikembangkan. Ajaran inilah yang mungkin membuat orang “Jawa” menjadi amat “toleran”, hingga memandang semua agama “sama”. Namun satu hal yang jelas, tradisi selamatan adalah perwujudan ajaran “Tri Hita Karana”, dan itu semua tercermin dalam doa-doanya. sesajinya, dan masyarakat yang diundangnya.    

Serpihan yang tertinggal.
Di jaman Majapahit  masyarakat Jawa pada umumnya pemeluk agama Hindu, tetapi kemudian hampir seluruhnya pindah beragama Islam. Ibarat sebuah pohon besar yang ditebang. Pohon itu tumbang, kemudian kering dan mati. Namun serpihan-serpihannya masih ada, berceceran di mana-mana dan memberi warna pada berbagai aspek budaya. Ia hanya dianggap sebagai “warisan nenek moyang” dan ditempatkan dalam “khasanah budaya tradisi”. Tidak lagi dianggap sebagai bagian ajaran Hindu karena dasar dan sumber ajarannya ditiadakan. Namun tradisi ini masih bernafaskan Hindu, dan akan merupakan budaya agama lagi kalau kita kembalikan ke dasar dan sumber aslinya, yaitu filosofi Hindu. 
Hal hal yang bernfaskan Hindu ini antara lain:
  1. Karya satra: Wedhatama, wulangreh, berbagai kitab suluk (sufisme) 
  2. Berbagai cerita wayang misalnya: Dewa Ruci, Wahyu Makutha Rama, dll.
  3. Folklor, banyak ceritera rakyat dan ungkapan-ungkapan tradisi bernuansa Hindu.
  4. Filsafat Jawa atau kejawen yang mengajarkan tentang manunggaling kawula gusti, sangkan paraning dumadi, teori maya atau dumadi (semua yang ada mengalir), hukum karma, reinkarnasi, dll.
  5. Upacara tradisi, manusia yadnya, pitra yadnya, dewa yadnya, dan bhuta yadnya semua masih ada, meski hampir semuanya diwujudkan dalam bentuk “slametan”.
  6. Ajaran meditasi atau semedi, yang merupakan puncak pencarian orang Jawa masih tetap lestari dan diminati.

Ciri-ciri orang Jawa
  1. Berusaha untuk Arjawam, jujur, jawa atau beneh, dengan menggunakan perilaku  sebagai ukuran kadar kejawaan seseorang (etis).
  2. Lebih mementingkan muna daripada muni (diam daripada banyak cakap).
  3. Lebih senang mempelajari ilmu (jnana) dan ajaran semedi (yoga), hingga kurang tertarik pada sarana ritual, seperti sesaji dan lain-lain. Umat umumnya merasa “tidak perlu mengerti”, cukup melaksanakan petunjuk guru atau pimpinan (pemangku).
  4. Ilmu merupakan sesuatu yang sakral karena itu perlu disembunyikan, termasuk dari mana asalnya, mungkin untuk menyembunyikan nama gurunya.
  5. Mempercayai hal-hal yang bersifat mistik, termasuk tempat-tempat keramat, yang dianggap sebagai tempat leluhur (danyang cikal bakal).
  6. Amat percaya pada leluhur dan menganggap masih dapat campurtangan dalam urusan duniawi.
  7. Percaya pada perhitungan hari baik dan hari buruk berdasar saptawara (dina pitu ) pancawara (pasaran lima) dan pawukon (wuku telung puluh), yang di agama lain tidak ada, meski yang terakhir ini sudah hampir tak dimengerti.
  8. Senang kawruh kejawen, ilmu kebatinan.

Dari uraian diatas jelaslah bahwa pengaruh “kejawen” amat besar bagi perkembangan Hindu di Jawa. Dengan kata lain, umat Hindu di Jawa dimotori oleh mereka yang semula termasuk sampradaya, kelompok kebatinan, kemudian kembali ke induk agamanya. Karena itu adanya sampradaya sekarang ini justru dianggap terbalik. Orang Jawa ingin kembali beragama Hindu, artinya “kehinduan” lebih diutamakan dan bukan ke “ilmuan”. Karena itulah tetap ada keyakinan bahwa “suatu saat” agama Hindu, yang disimpan leluhur di Bali, akan dikembalikan ke Jawa (ke mbali).

Oleh: Adi Soeripto
Makalah ini dibawakan Adi Suripto pada Penataran Pemangku Jawa di Lampung, bulan Juli 2004.


2 komentar:

  1. GURAH BATAM

    GUN PAKARE buka Praktek Terapi GURAH di Batam sejak Tahun 2002 dengan tujuan untuk melestarikan GURAH tersebut agar tidak punah...dan hanya fokus pada pelayanan TERAPI GURAH TETES HIDUNG, agar dalam pelayanan Terapi GURAH benar-benar bisa optimal, serta... sudah RIBUAN Pasien yang telah ditanganinya... yang datang dari dalam kota, luar kota, luar pulau, bahkan dari manca Negara.
    GURAH adalah...proses pembersihan organ tubuh dari berbagai lendir negatif yang merugikan organ tubuh secara alami...dengan cara meneteskan ramuan Gurah ke dalam hidung.

    GURAH merupakan cara terapi tradisional yang diwariskan oleh para leluhur dari tanah JAWA...dan lebih dikenal khususnya oleh kalangan pertapa (ahli Meditasi), Pesilat, Dalang dan Pesinden sebagai upaya untuk membantu meringankan olah nafas (nafas panjang), suaranya nyaring dan kuat, serta...dimanfaatkan oleh sebagian Guru mengaji untuk menggurah para santrinya agar suaranya bagus dan merdu dalam membaca ayat-ayat suci Al-Quran...yang kemudian belakangan ini sangat marak dikenal dan dilakukan oleh para Penyanyi.

    Selain bermanfaat untuk perawatan suara dan untuk perawatan kesehatan organ tubuh dari berbagai lendir yang bersifat negatif... Ber-GURAH juga sangat bermanfaat untuk membantu meringankan pengobatan berbagai penyakit, diantaranya...Batuk Menahun, Pilek Menahun, Sinusitis, Pusing Menahun, Perokok berat, dll.

    Tetapi hal ini hanya berdasarkan bukti empiris hasil pengalaman praktek yang telah saya lakukan bertahun-tahun sejak Tahun 2002 s/d saat ini.

    Bagi anda yang membutuhkan bantuan jasa Terapi GURAH, silahkan Hubungi GUN PAKARE Ahli Gurah Batam di No Hp. 0856 6830 3029

    BalasHapus

 
TOP