MENJARING MAKNA TRI KAYA PARISUDHA
Kesulitan yang dihadapi oleh umat manusia pada jaman tekhnology informasi adalah suatu hal yang membosankan, apalagi kita menggunakan istilah problem atau masalah. Apa yang kita namakan masalah hanyalah kejadian atau keadaan yang mengandung penafsiran yang negatif. Pengertian ini bukan semacam filosofi yang mengajarkan orang selalu optimis atau berpikir positif. Masalah adalah suatu keadaan dan tak pernah ada dalam bentuk nyata.
Para intelektual mengatakan bahwa interprestasi kita pada suatu keadaan menciptakan masalah, dan tidak membantu kita mengatasi reaksi atas reaksi orang lain. Apabila keadaan ini terjadi, mau tidak mau kita merasa bahwa ada yang kurang beres. Cara berpikir seperti inilah yang menghalangi kita dalam hal pencapaian terobosan dalam menghadapi kehidupan ini. Tentunya kehidupan yang saya maksud adalah kehidupan yang berwawasan religiusitas.
Jika reaksi kita terhadap masalah karena adanya sesuatu yang kurang beres, biasanya kita cendrung menentukan dan membentuk situasi yang baru yang mengakibatkan penundaan dan terlambatnya rencana kegiatan yang akan datang. Kita menyebut itu masalah, akan mendorong keseluruhan prilaku yang membuat kehidupan menjadi sulit.
Kebiasaan bersikap menyalahkan, akan ada kecendrungan upaya membuat jarak antara diri dengan masalah itu sendiri. Kita merasa perlu membentuk jarak yang sifatnya psikologis, sebab kita berpendapat bahwa masalah sebagai sesuatu yang seharusnya tidak terjadi. Dengan memahami ini, akan muncul perubahan sikap, pola berpikir untuk mampu membedakan antara masalah sebagai indikator dari adanya sesuatu yang kita anggap salah, yang selanjutnya akan menyajikan dan cara pandang baru untuk menciptakan terobosan yang lebih gemilang.
Ilustrasi di atas memberikan gambaran adanya jurang pemisah antara pola berpikir yang logika dengan pemahaman nilai spiritual atau ajaran agama. Hal ini tidak boleh terjadi di kalangan umat Hindu. Umat Hindu harus tunduk pada ajaran luhur yang telah diwariskan berabad abad lamanya, tak pernah sirna dari jaman ke jaman tetap eksis dan relevan.
Saya belajar agar bisa menjaring ajaran Tri Kaya Parisuda yang kedengarannya sederhana, mudah diucapkan, mudah juga ditulis, namun sulit dilaksanakan. Benarkah demikian?
Dalam Sarasamuccaya sloka 157 dinyatakan :
Yang membuat matinya segala makhluk hidup, sekali –kali jangan hendaknya dilakukan dengan menggunakan Tri Kaya Parisuda, yaitu perbuatan dan pikiran. Adapun yang harus diikhtiarkan dengan Tri Kaya Parisuda hanya pemberian dan punia saja. Sebab itulah yang disebut sila.
Kayika parisuda sebagai segala prilaku yang berhubungan dengan angga sarira yang telah disucikan. Ini berarti segala yang disebut cemar, tidak boleh dilakukan oleh badan ini. Saya yakin semua orang maklum, bahwa selama hayat dikandung badan, selama itu kita harus berbuat, karena hidup ini untuk berbuat. Kehadiran kita di dunia akan sia-sia belaka bila tidak digunakan untuk berbuat sesuatu. Dengan berbuat maka kita telah membuat karma baru yang menentukan hidup kita di masa yang akan datang. Persoalannya adalah, kita dituntun untuk membuat karma yang baik dan benar.
Dalam Sarasmuccaya sloka 76 dinyatakan :
Inilah yang tidak patut dilakukan : membunuh, mencuri dan berzina. Ketiganya janganlah dilakukan terhadap siapapun baik secara berolok-olok, dalam keadaan dirundung malang, dalam hayalan sekalipun.
Wacika parisuda adalah berwacana yang baik dan benar. Hampir semua orang akan berkata-kata dalam hidupnya untuk menyampaikan isi hatinya kepada orang lain. Pengetahuan kita sebagian besar diperoleh melalui kata-kata dan wacana, baik secara lisan ataupun tertulis. Dengan kata-kata, kita akan mempunyai kedudukan dan peranan yang amat penting dalam hidup kita. Ia akan mendatangkan kebahagiaan dan menarik simpati orang lain.
Dalam Sarasamuccaya 20 dinyatakan :
Perkataan yang mengandung maksud jahat tiada beda dengan anak panah yang dilepaskan. Setiap yang ditempuhkanya merasa sakit. Perkataan itu meresap ke dalam hati, sehingga menyebabkan orang tidak bisa makan dan tidur pada siang dan malam hari. Oleh sebab itu perkataan yang demikian tidak diucapkan oleh orang budiman dan wira perkasa, dan orang yang suci bersih hatinya.
Selanjutnya Sasarasamuccaya menekankan dalam sloka 75 yang menyatakan :
Ada empat perkataan yang tidak diucapkan dan yang harus disingkirkan : perkataan jahat, perkataan kasar, perkataan memfitnah, dan perkataan bohong.
Manacika Parisuda yakni pikiran mendapat perhatian besar dalam ajaran yoga, karena pikiran merupakan sumber segala apa yang dilakukan orang. Bila pikiran menyuruh anggota badan diam, maka anggota badanpun diam, bila pikiran menyuruh mulut tak berkata, maka mulutpun diam.
Dalam sarasamuccaya sloka 82 dinyatakan :
Sifat pikiran itu, bahwa mata dikatakan dapat melihat berbagai barang, tiada lain hanya pikiran yang menyertai mata itu memandang. Maka jika pikiran bingung atau kacau, tidak turut menyertai mata sungguhpun memandang kepada suatu barang, tidak terlihat barang itu olehnya, sebab pikran itulah sebenarnya yang mengetahui. Sebab pikiran itu sesungguhnya yang memegang peranan utama.
Sebelum diakhiri, ada pesan khusus dari Kitab Sarasamuccaya sloka 74 :
Ada tiga perilaku pikiran yang harus dikendalikan : Tidak ingin, tak iri akan milik orang lain. Kasih sayang terhadap semua makhluk. Dan yang ketiga percaya akan adanya hukum karma pala.
I Wayan Catra Yasa – Batam
0 komentar:
Posting Komentar