Loading...

PENJEJAKAN PAHLAWAN YANG BERAGAMA HINDU



Ilustrasi
Apa itu Pahlawan
Kata pahlawan bila diterjemahkan dalam bahas inggris adalah Hero, artinya seseorang yang berani tampil membela kaum yang lemah atau kaum yang termarginalkan sebagai akibat dari penindasan, penjajahan, kesewenang-wenangan atau keangkaramurkaan. 
Dalam sastra-sastra Hindu maupun kitab suci Semerti sangat banyak ditemukan cerita-cerita kepahlawanan, di mana sangat jelas digambarkan pertempuran antara kebenaran (Dharma) melawan ketidakbenaran (Adharma). Sebagai contoh, pada era Ramayana sangat jelas digambarkan bahwa pihak Sri Rama merupakan pahlawan kebenaran dan kebajikan sedangkan Rahwana digambarkan sebagai pihak yang selalu bertindak angkaramurka, sewenang-wenang. 
Pada era Mahabharata Pandawa adalah pahlawan atau ksatria sejati yang harus dipanuti sebagai pembela, penegak kejujuran kebenaran dan keadilan sebaliknya Kurawa adalah pihak yang selalu menjalankan tindakan kesewenang-wenangan, kesombongan, ketidak adilan yang harus selalu dilawan dan dimusnahkan dari muka bumi. 
Dalam sastra dan lontar-lontar di Bali dikisahkan bahwa Raja Mayadenawa adalah raja bengis yang tidak berprikemanusiaan sehingga turunlah Dewa Indra sebagai ksatria untuk menumpas Raja Mayadenawa. Untuk memperingati kepahlawanan ksatria jelmaan Dewa Indra sampai sekarang diperingati sebagai hari kemenangan Dharma melawan Adharma yaitu pada hari Hari Raya Galungan dan Kuningan.
Bila kita mencermati kitab-kitab Semerti, sastra-sastra dan lontar  tersebut di atas jelas umat Hindu sangat menghormati dan menjunjung tinggi nilai-nilai kepahlawanan karena pahlawan adalah pejuang, pembela, penegak kejujuran, kebenaran, dan keadilan sesuai dengan butir-butir Sapta Marga sebagai Jiwa dan Jati Diri prajurit ksatria sejati. 
Karena kita yakini bahwa hanya ksatria sejatilah yang dapat membawa keamanan, ketentraman, kesejahteraan bagi umat manusia, sehingga secara nyata kita dapati tidak ada warga Hindu yang memberikan nama anaknya Rahwana, Duryadana, Dursasana, Sengkuni dan lain-lainnya, melainkan nama-nama yang dipilih seperti Yudistira, Krisna, Arya Bima, Danan Jaya, dan golongan ksatria lain-lainnya, hal ini berarti umat Hindu mempunyai harapan agar generasi penerusnya menjadi orang-orang yang baik dan dapat menjadi Pahlawan dalam kehidupannya. 

Beberapa teks suci tentang kepahlawanan. 

Bagawad Githa Bab VI Sloka 41
“Setelah mencapai dunia kebajikan, dan hidup disana dalam waktu yang lama, orang yang gugur dalam melaksanakan kewajibannya  sebagai ksatria (Yoga) lahir kembali dalam keluarga suci dan bahagia”.

Di sini jelas bahwa  mereka yang gugur selaku pahlawan maupun meninggal karena amal bhaktinya selaku pahlawan, Tuhan telah memberikan garansi bahwa dalam reinkarnasi berikutnya dia akan dilahirkan dalam keluarga yang sejahtera dan bahagia karena pahala dari Karma dia sebelumnya. Dengan demikian kelahiran mereka dalam keluarga bahagia bukan karena proses ritual yang berlebih-lebihan melainkan karena karmanya selaku pahlawan.

Bab VI Sloka 43

“Disana ia menemui kembali, kakrakteristik kesadaran hidupnya yang dulu dan dengan ini kemudian ia berusaha lagi untuk kesempurnaan. Oh putra Kuru”.
Seorang pahlawan yang telah dilahirkan kembali dalam keluarga yang sejahtera dan bahagia maka kondisi itu akan digunakan atau dimanfaatkan untuk menyempurkan pengabdiannya terhadap umat manusia, alam dan Tuhan sehingga kehidupannya dia semakin disempurnakan.

Sarasamuccaya Sloka 58 sebagai berikut :
“Yang harus dilakukan oleh sang ksatria yaitu : mempelajari weda, senantiasa melakukan korban api suci, mengadakan upacara Yadnya menjaga keamanan negara, mengenal bawahannya sampai sanak keluarga dan kaum kerabatnya, memberikan sedekah bagi kaum tidak mampu, jika ia berbuat demikian tingkatan alam surga akan diperolehnya kelak.”
Di sini jelas mengandung makna kewajiban-kewajiban serta sifat-sifat pemimpin yang harus dilakukan oleh ksatria. Memang ada semacam anekdut bahwa seorang ksatria tidak perlu belajar weda karena itu adalah kewajiban kaum brahmana pandanga dan anekdut tersebut jelas salah, siapapun umat manusia khususnya umat Hindu dapat mempelajari dan memperdalam weda karena itulah tuntunan hidup kita di dunia yang mengantarkan kita dalam kehidupan kekal di surga (moksa) karena moksa adalah hak setiap umat hindu papun profesinya bukan hak paten dari sekelompok atau golongan tertentu

Permasalahan
Permasalahannya sekarang adalah apakah nilai-nilai kepahlawanan tersebut dapat diresapi, dimengerti dan diimplementasikan bila kita mengandalkan penyebaran, pemahaman nilai-nilai tersebut hanya melalui cerita-cerita saja, tanpa diikuti oleh suatu fakta yang diakui secara universal baik secara lokal, nasional, regional dan bahkan internasional. 
Di era sekarang dan ke depan mereka yang disebut pahlawan adalah mereka yang diakui baik secara formal oleh negara maupun informal oleh masyarakat karena mereka sangat berjasa pada bidang atau keahliannya dalam mewujudkan kesejahteraan bagi umat manusia sehingga sampai ia meninggalpun dihormati oleh negara dan masyarakat untuk di Semayamkan di makam pahlawan. 
Dengan demikian pahlawan  tidak hanya monopoli dari kalangan mereka yang berjuang mengangkat senjata. Tidak sedikit warga dari umat Hindu yang telah ikut berjuang membela dan mewujudkan tegaknya NKRI, namun bila kita berkunjung ke makam pahlawan, sebagai generasi penerus selalu bertanya dalam hati kenapa sangat sedikit sekali pahlawan dari umat Hindu?  Padahal faktanya sangat banyak sekali pahlawan Hindu baik sebagai pahlawan nasional maupun pahlawan local. 
Sebagai contoh; Untung  Surapati, I  Gusti Ngurah Rai, Patih Jelantik, AA Gede Agung yang diakui secara formal oleh negara. Dan banyak lagi para tokoh umat Hindu yang berhak dimakamkan di makam pahlawan karena jasa-jasanya terhadap Negara. Namun karena berbagai hal antara lain, karena keyakinan keluarga atas tradisi agama (ngaben), karena regulasi pemerintah yang belum memperbolehkan memakamkan abu di makam pahlawan sehingga kepahlawanan para tokoh Hindu seolah-olah tidak berbekas, atau tidak meninggalkan jejak. 

Tentang Ngaben
Pada  saat saya di SMP, saya bertanya kepada guru agama saya (sekarang sudah menjadi Pedande), kenapa jenazah harus diaben? Beliau menjelaskan secara panjang lebar tentang unsur-unsur yang mementuk manusia yaitu badan kasar kita dan unsur jiwa (atma).  Badan kasar terdiri dari unsur panca maha buta dan atma terdiri dari unsur panca budindrya. Ibaratnya barong, badan kasar kita adalah barong itu sendiri dan jiwa atau atma adalah penari barong yang memainkan barong itu. Bila barong itu tidak dimainkan oleh penari maka tidak ubahnya itu seonggokan kayu dan kain, demikian juga bila atma telah kembali kepada asalnya meninggalkan badan kasar.
Menurut Weda bila seseorang telah meninggal maka wajib badan kasarnya dikembalikan kepada unsur-unsurnya dengan kata lain bas mantam sariram pengembalian unsur-unsur ini bisa melalui salah satu atau lebih dari unsur-unsur panca maha buta itu sendiri.
Proses yang paling cepat adalah melalui Agni (api) sehingga timbulah kremasi.  Juga bisa lewat unsur pertiwi sehingga jenazah bisa dikubur namun prosesnya cukup lama.  Masyarakat  Hindu di beberapa negara seperti Kamboja, Nepal, India, Vietnam, ada juga melalui Apah (air).   Jenazahnya dihanyutkan di sungai dan berakhir di laut.
Pada zaman dahulu para Raja-raja Hindu di Nusantara mengkombinasikan proses pengembalian 5 unsur panca maha bhuta melalui tiga unsur yaitu dengan dikremasi (melalui Agni), abu jenazah sebagian ditaburkan di laut (unsur air) dan sebagian disimpan di Candi yang jejaknya sampai sekarang bertebaran pada candi-candi Hindu di seluruh Nusantara.
Belajar dari serangkaian peristiwa tersebut di atas perlu kiranya kita berpikir kedepan apa yang kita perbuat untuk umat agar dapat bermanfaat sehingga keberadaan umat kita cukup ada kontribusinya terhadap negara dan bangsa dan diakui secara Yuridis formal oleh masyarakat lingkungan kita. Saya sama sekali  tidak menentang upacara Ngaben yang berlebihan namun saya lebih cenderung menggali dan memaknai apa sebetulnya hakekat dan makna Ngaben tersebut sehingga bisa lebih fleksible dan bisa lebih diterima baik secara nalar maupun secara spiritual oleh generasi muda Hindu kedepan.

Apa yang harus dilakukan?
Mencermati dan menjejaki secara singkat tentang pahlawan dan nilai-nilai kepahlawanan Hindu maka perlu kiranya ke depan kita rumuskan, sosialisasikan dan perjuangkan dalam rangka menempatkan para pahlawan Hindu pada porsi dan tempat yang tepat.
Bung Karno memberi judul pidatonya “Jas Merah” artinya jangan sekali-sekali lupa sama  perjuangan Pahlawan, dan bangsa yang besar hanyalah bangsa yang tau menghormati jasa para Pahlawannya.
Untuk generasi penerus Hindu kalau mau menjadi umat Hindu yang besar dan maju maka kita harus menghormati dan menempatkan jasa-jasa para pahlawan Hindu pada tempat yang terhormat. Hal ini dapat diperjuangkan dalam sinergitas antara Parisada Hindu Dharma Indonesia, Dirjen Bimas Hindu, Lembaga Pendidikan dan LSM Hindu, TNI-Polri untuk mengusulkan kepada Pemerintah melalui Kementerian Sosial, agar perarturan yang melarang mengubur abu di taman makam pahlawan ditinjau kembali.
Ngaben adalah kewajiban agama. Agama Hindu adalah agama yang diakui sah di negera ini. Pemerintah Indonesia hendaknya tidak melarang seseorang pahlawan dimakamkan di makan pahlawan karena jasa-jawanya,  justru karena mengikuti kewajiban agamanya.

Sumber :
Mayor Jenderal TNI, Ngakan Gede Sugiartha G, SH. Tinggal di Jakarta.
Tulisan ini disingkat dari Makalah Pada Acara Sarasehan Puja Santhi Hari Pahlawan Bagi Prajurit Dan PNS TNI di Wilayah Jakarta Pada Hari Kamis 7 Nopember 2013


0 komentar:

Posting Komentar

 
TOP