Kerata Basa
Di Jawa ada kesenian wayang, wayang
kulit dan wayang orang, ceritanya berkisar tentang Ramayana, Mahabharata;
termasuk Bharatayudha. Selain tokoh-tokoh sentral yang sudah dikenal, di Jawa
masih ditambah tokoh sekawan sebagai panakawan atau batur. Panakawan dari
asal kata, “pana” (kecerdasan,
kewaskitaan, kemampuan, taktik, strategi), dan pengertian, “kawan” dari kata sekawan (empat). Jadi, ada empat kecerdasan (pengertian, cara atau
strategi). Sedangkan batur dari asal
kata, “pangembat” (pengendali,
penyeimbang), tur dari kata catur
(empat). Jadi, batur artinya empat
pengendali atau empat penyeimbang.
Panakwan itu digambarkan dengan
tokoh-tokoh, Semar, Gareng, Pitruk dan Bagong. Di Jawa memang ada istilah
“kerata basa” yang artinya singkatan dua kata atau lebih, digabung, yang
memberi arti lain. Misalnya, mata dari marahi nyata, artinya
membuat kelihatan. Kuping dari kata kudu pinggir artinya harus
di tepi (tidak ada kuping di tengah). Sirah (kepala) dari kata isine
rah, artinya isinya darah. Dada
dari kata daginge pada, artinya dagingnya sama-sama
tipis, baik yang gendut maupun yang kurus..
Figur Panakawan
Figur panakawan Semar, Gareng,
Pitruk dan Bagong, juga berasal dari kata-kata yang mengandung arti yang dalam,
seperti yang dijelaskan berikut ini.
Semar dari kata ana sega marem, artinya ada nasi, puas. Semar digambarkan sebagai
laki-laki gendut yang mirip perempuan, sudah tua tetapi memakai kuncung seperti
anak-anak. Figur ini memberikan simbolisasi bahwa pangan (kebutuhan) itu untuk
memuaskan semua orang (laki-laki, perempuan, orang tua, anak-anak); harus adil
dan saling memberi dan menerima.
Gareng
dari kata gaweyan rampung, enteng, artinya
pekerjaan selesai, ringan di hati. Gareng digambarkan sebagai orang cacat,
matanya juling, tangannya bengkok, kakinya pincang dan mulutnya kecil. Artinya,
pekerjaan itu harus selesai walaupun mata, mulut, tangan dan kaki harus
berkorban/beryajna untuk menyelesaikan kerja dengan ikhlas. Bekerja, sambil
mengendalikan indria.
Pitruk
dari kata pitutur lan wulang wuruk, yang artinya nasehat dan
pembelajaran. Pitruk digambarkan dengan semua yang serba panjang, tangan, kaki,
badan, hidung, dan mulut yang melebihi ukuran normal. Artinya, ia memiliki
kelebihan, karena mendengarkan nasehat dan belajar.
Bagong
dari kata bisa agawe bombong,
artinya dapat membuat bangga dan bahagia. Bagong digambarkan dengan mata dan
mulut yang lebar. Artinya, ia memiliki pandangan yang luas dan perbendaharaan
kata yang juga luas. Berarti, dengan banyak ilmu dan pandai mengatur
pembicaraan, akan membuat bangga (bukan sombong) serta mendapat kebahagiaan.
Saat bercanda, dalam adegan goro-goro, bagong biasanya menjadi sasaran yang
lain. Ia ditipu, dicurangi, tetapi selalu bisa membalas dengan kecerdasan dan
humornya.
Makna Yang Tersirat
Apabila nilai filosofis dari figur empat sekawan dipadukan, maka
akan memiliki sebuah pengertian yang utuh berikut ini. Ana sega, ana gawean, ana ilmu, ana bombong (kebanggaan/rasa bangga dan syukur); artinya ada
nasi, ada pekerjaan, ada ilmu dan ada rasa bangga. Makna yang tersirat dalam
konsepsi panakawan ini ternyata
tersurat dalam Yajur Weda IX.22, sebagai berikut (terjemahan), “Ya para Dewata, semoga tenagaMu,
kerajinanMu, kekayaanMu dan kecemerlanganMu ada pada diriku”. Yang dapat
dijabarkan seperti:
- Memiliki tenaga, karena memiliki makanan yang membangun tenaga agar sehat (jasmani, rohani, semangat dan sosial), tidak boleh malas dan menganggur. Tenaga itu harus dimanfaatkan, supaya tidak sia-sia.
- Memiliki kerajinan karena memiliki pekerjaan atau aktivitas yang bermanfaat dan menghasilkan.
- Memiliki kekayaan karena memiliki kelebihan dari nafkah yang didapat, untuk berani hidup sederhana, hemat dan mempunyai tabungan. Kaya karena hasil kerja keras, bukan karena menipu atau korupsi.
- Memiliki kecemerlangan (taksu) karena memiliki kebanggaan, kebahagiaan dan kesucian (selalu bersyukur kepada Tuhan).
Hidup Dalam Keseharian
Tuhan Maha Adil, waktu 24 jam sehari
selalu dianugerahkan untuk semua ciptaanNya, yang bisa dibagi sesuai kondisi
masing-masing. Umumnya, sebanyak 16 jam dimanfaatkan untuk bersktivitas, dan
delapan jam dinikmati untuk tidur. Namun ada juga yang 18 jam beraktivitas dan
enam jam untuk tidur. Selama 16 jam beraktivitas, empat kuajiban diatas bisa
diselesaikan. Di mulai pukul 4.00 pagi hingga 20.00 atau 22.00 malam; lalu
tidur dan bangun kembali pukul 4.00.
Idealnya, kita membuat jadual rutinitas harian yang disusun sedemikian
rupa, sehingga ada kegiatan-kegiatan dengan waktu-waktu yang tetap; terutama
waktu untuk makan. Hal ini terkait dengan waktu yang dibutuhkan untuk mencerna
makanan agar sempurna. Disamping perlu menerapkan menu sehat yang mudah
dicerna, sehingga tidak ada sisa-sisa metabolisme atau metabolit-metabolit
penyebab penyakit.
Misalnya, ada yang mengatur, pagi hanya nasi dengan sayur secukupnya
hingga kenyang, atau kira-kira setengah volume perut, yaitu kira-kira dua
gelas; ditambah satu gelas minuman. Untuk minum, dianjurkan sepuluh menit
sebelum makan nasi, agar tidak mengganggu enzim pencernaan. Siang hari, makan
buah-buahan segar. Sore hari makan makanan ringan, Dan malam hari, minum susu
satu atau dua gelas dari protein yang lain. Dengan demikian, semua makanan akan
tercerna sempurna. Itu teorinya, diperlukan pembiasaan sejak dini. Tetapi, bila
sejak kecil sudah terbiasa makan empat sehat, lima sempurna, tiga kali sehari; maka inilah
yang menyebabkan kelebihan berat badan. Karena tidak semua makanan dicerna,
tetapi disimpan.
Pagi hari pukul 4.00 merupakan waktu yang utama, matahari belum
terbit, dinamakan sandhya dini hari (sukla kala/satvika kala/brahma muhurta).
Pada saat itu, lubang hidung terbuka semua, itulah saat yang tepat untuk
melakukan pranayama. Sebelumnya, kita membersihkan diri (mandi setengah),
mencuci muka, telinga, tangan dan kaki serta mencuci mulut (mirip wudhu).
Setelah itu, bersiap dengan sikap asana, yang dilanjutkan dengan
pranayama; terus melantunkan mantram, merenungkan dan meresapi artinya. Ini
dilakukan, kurang lebih selama 10 menit. Lalu diteruskan dengan meditasi dalam
kepasrahan, selama kira-kira 20 menit. Selesai. Kemudian mulai menyalakan
kompor, memasak air dan nasi, berbenah dan bersih-bersih (satu jam) lalu mandi,
masak sayur (30 menit). Makan pagi, nasi dan sayur saj, dilanjutkan dengan
mencuci piring (30 menit).
Lalu mulai bekerja, mungkin di rumah, di kantor, di sawah, di took,
ngayah, di kebun dsb. Selama bekerja tetap serius, sedikit bicara seperti yang
digambarkan Gareng (mulutnya kecil, mta, tangan dan kaki klelah hingga cacat)
dan akhirnya selesai hingga ringan di hati. Saat tengah hari, rajasika kala,
istirahat sambil bersembahyang.
Sore hari, memasak makanan ringan (kudapan), lalu mandi, sembahyang
(sandhya). Mulai membaca kitab suci, memberi nasehat kepada anak cucu, dan
ilmu-ilmu lain sambil bersenda-gurau dengan keluarga. Malam hari menjelang
tidur, minum susu dan berdoa agar terlindungi.
Itulah gambaran empat kecerdasan untuk mengelola (memanage) waktu
agar sehat jasmani, rohani, semangat dan sosial yang utuh, karena ada pangan,
pekerjaan, kelebihan nafkah dan ada kebanggaan. Dan seluruh rangkaian kegiatan
itu memenuhi ajaran Niyama Brata (janji untuk melakukan). Ada sauca,
bersih jasmani. Santosa, puas. Tapa, mengendalikan diri. Swadhyaya, belajar. Iswara pranidana, berserah diri.
Batur – Empat Pengendali
Kita mengenal Yama Brata, yaitu
janji untuk tidak melakukan.
- Ahimsa, tidak menyakiti, baik dengan perkataan, perbuatan dan pikiran.
- Asteya, tidak mencuri.
- Asmita, tidak sombong.
- Aparigraha, tidak menerima sedekah sembarang.
- Brahmacarya, tidak lupa menyembah Tuhan
Asteya dan
Asmita sebenarnya sudah termasuk dalam Ahimsa, sebab Asteya (mencuri) adalah
menyakiti dengan pernuatan dan pikiran. Asmita (sombong) adalah menyakiti
dengan perbuatan dan perkataan.
Semar menggambarkan kebutuhan
laki-laki, perempuan, orang tua dan anak-anak yang dengan adil harus
mendapatkan makanan, sandang, papan, kegembiraan, kesempatan menyampaikan
aspirasi, rekreasi, sembahyang, belajar, pengobatan dsb. Semua ini merupakan
pelaksanaan dari Ahimsa, Asteya dan Asmita.
Gareng menggambarkan sosok pekerja
keras, yang tidak mau menerima sedekah sembarangan tanpa bekerja. Ini adalah
pelaksanaan dari Aparigraha. Pitruk dan Bagong menggambarkan sosok-sosok yang
memiliki kelebihan baik harta, wawasan, rasa bhakti, kebersihan batin yang
selalu dekat dengan Tuhan. Ini adalah pelaksanaan dari Brahmacarya. Pitruk
memiliki nam lain, yaitu Kantong Bolong, yang berarti orang yang memiliki harta
berlebih dan dermawan.
Oleh: Ny. Hermien
Suparta
0 komentar:
Posting Komentar