Gambar Kumbhakarna sumber: comicvine.com |
Perbedaan
Pendapat Karena Beda Kerangka Pemikiran
Kita lahir dengan sifat
genetik yang kita warisi dari dari leluhur lewat kedua orang tua kita. Kemudian
kita mendapat pengetahuan “kebenaran” dari orang tua, pendidikan, lingkungan
dan pengalaman. Sehingga apa yang kita anggap benar adalah “kebenaran” menurut
kerangka pikiran kita yang terbentuk karena mendapatkan informasi secara
repetitif dan intensif. Beda orang tua, beda pendidikan, beda lingkungan akan
membuat pemahaman mengenai kebenaran yang berbeda. Demikianlah maka pandangan
tentang ketokohan Kumbhakarna bisa berbeda, yang penting bagaimana pandangan
subyektif kita dapat bermanfaat bagi peningkatan kesadaran.
Sebagian
Orang Menganggap Kumbhakarna Tokoh Pembiar Kejahatan
Kumbakarna adalah putra
Sukesi yang tidak mau berbuat jahat. Kelemahannya hanya suka makan dan tidur.
Kumbakarna tidak menyetujui tindakan Rahwana menculik Sita istri Rama. Karena
Rahwana menolak untuk mengembalikan Sita, maka dia meninggalkan istana untuk
bertapa terus dan hanya setiap 6 bulan sekali bangun berbuka puasa. Bukankah
pada zaman kolonial Belanda juga banyak tokoh yang tidak suka dengan Belanda,
tetapi memilih tidak konfrontatif dan menyepi di lereng gunung sambil bertapa?
Bukankah banyak pula tokoh yang tidak cocok dengan pemerintahan yang zalim,
tetapi memilih tidak bersuara dan mengalihkan fokus pada kegiatan
kemasyarakatan yang lain? Apakah diri kita seperti Kumbhakarna di tengah
kezaliman yang merajalela di segala bidang kehidupan? Kalau para tokoh yang
paham diam, maka negeri menjadi semakin kacau.
Oleh sebagian orang,
Kumbhakarna dianggap figur dari orang-orang yang tidak berani bersuara karena
merasa nyaman berada dalam comfort zone. Dia tidak sadar bahwa kenyamanan
dirinya hanya semu. Kumbakarna juga
figur dari orang-orang yang mendiamkan ketidak benaran karena rasa korps.
Orang-orang yang tahu boss mereka salah tetapi tetap melindungi orang-orang
yang menyerang instansinya.
“Alam bawah sadar kita
masih terpengaruh naluri hewani. Itu sebabnya kita tidak segan-segan
mencelakakan orang lain, demi kepentingan diri. Kita harus melanjutkan
perjalanan kita. Berada pada tingkat ini pun, sebenarnya kita belum manusiawi.
Berbadan manusia, tetapi belum cukup manusiawi. Bukan hanya kenyamanan diri,
kita juga harus bisa memikirkan kenyamanan orang lain. Untuk itu kita harus
meningkatkan kesadaran kita sedikit lagi lepas dari pengaruh naluri hewani.”
(Krishna, Anand. (1999). Kundalini Yoga, dalam hidup sehari-hari. Jakarta:
Gramedia Pustaka Utama)
Kumbhakarna
Bertapa tidur selama 6 bulan
Ada versi kisah di
balik tidurnya Kumbhakarna. Di masa mudanya, Kumbhakarna adalah seorang pemuda
yang perkasa. Dia berdoa kepada Brahma untuk Indra Asana (posisi Indra) tetapi
ketika Brahma benar-benar muncul di hadapannya lidahnya gemetar dan keluarlah
suara permintaan Nidra Asana (posisi tidur). Brahma memberikan anugrah sesuai
permintaannya. Kumbhakarna kemudian mohon keringanan pada Brahma dan dikabulkan
sehingga Kumbhakarna tidur selama 6 bulan dan bangun untuk berbuka puasa.
Rahwana menggunakan waktu Kumbhakarna bangun agar melawan pasukan Sri Rama.
Tidur ternyata memberi
kebahagiaan terhadap manusia. “Hidup dalam rahim ibu selama lebih dari sembilan
bulan, hidup dalam kegelapan itu, merupakan pengalaman yang tidak pernah pernah
terlupakan oleh manusia. Setelah dilahirkan sampai ajal tiba, hidup manusia
sebenarnya merupakan proses pencarian yang panjang. Apa pula yang dicarinya,
kalau bukan kegelapan itu? Kenapa demikian? Karena, dalam kegelapan itu, ia
pernah merasa begitu aman, begitu nyaman. Dalam kegelapan itu, ia merasakan
kehangatan kasih ibu. Dalam kegelapan dan keheningan itu, ia pernah merasa
begitu tenang, begitu tenteram, begitu tenteram, begitu damai, begitu bahagia.
Sepanjang umur, ia mencari kebahagiaan seperti yang pernah dialaminya dulu.
Apabila, sampai saat ini pun ia belum berhasil memperolehnya, itu karena
pencarian dia selama ini salah. Ia menerangi kehidupannya dan ingin mendapatkan
kebahagiaan lewat cahaya. Ia tidak akan pernah mendapatkan kebahagiaan lewat
cahaya. Ia tidak akan pernah bisa mendapatkannya, karena kebahagiaan berasal
dari kegelapan. Kegelapan berarti keheningan. Kegelapan berarti kasunyatan.
Kegelapan berarti kesadaran akan jati diri Anda. Selama Anda mencarinya di
luar, Anda tidak akan pernah mendapatkannya. Memang cahaya dapat membuat hidup
Anda sedikit lebih nyaman, tetapi hanya itu saja. Tidak lebih dari itu. Carilah
kebahagiaan dalam kegelapan dan keheningan jiwa Anda sendiri. Sesekali waktu,
pejamkan mata Anda dan rasakan betapa indahnya kegelapan itu. Apa yang terjadi,
sewaktu Anda berada dalam keadaan tidur? Anda diselimuti oleh kegelapan dan
esoknya Anda begitu segar. Kegelapan akan menyegarkan jiwa Anda. Kegelapan akan
menyegarkan batin Anda.” (Krishna, Anand. (1999). Wedhatama Bagi Orang Modern.
Jakarta: Gramedia Pustaka Utama)
Kumbhakarna
dalam Serat Tripama
Bagi masyarakat Jawa
pengaruh tulisan Sri Mangkunegara IV Serat Tripama sangat berpengaruh. Dalam
serat Tripama Sri Mangkunegara IV mengambil teladan para pembela negara yang
siap mati demi negara, yaitu Patih Suwanda, Adipati Karna dan Kumbhakarna.
Sebagai pujangga Sri Mangkunegara IV yang pernah mengambil pendidikan militer
dan menjadi kadet Legiun Mangkunegaran, nampaknya mempengaruhi Beliau untuk
menulis Serat Tripama.
Figur teladan ketiga
dalam Serat Tripama adalah Raden Kumbhakarna. Kumbhakarna juga sadar bahwa
kakaknya, Rahwana bersalah, dan sejak awal dia selalu memberi nasehat kepada
kakaknya untuk mengembalikan Sita, yang merupakan haknya Sri Rama. Akan tetapi,
pasukan Sri Rama akan menghancurkan negara Alengka, negara yang telah
menghidupi semua leluhurnya. Oleh karenanya dia berperang bukan membela
kakaknya yang zalim, tetapi membela tanah tumpah darahnya.
Pesan Bung Karno pada
HUT Proklamasi 1956: “Perjuangan ini bukan untuk mereka yang menghitung laba
rugi. Perjuangan ini adalah untuk mereka yang berani mewakafkan nyawa mereka
bagi bangsa. Bila pengorbanan itu kau artikan sebagai kerugian, maka perjuangan
ini bukanlah untukmu. Tidak seorang pun yang menghitung-hitung: berapa untung
yang kudapat nanti dari Republik ini, jikalau aku berjuang dan berkorban untuk
mempertahankannya.” (Krishna, Anand. (2001). Youth Challenges And Empowerment.
Jakarta: Gramedia Pustaka Utama)
Menjelang
Kematian Kumbhakarna
“Wahai Saudaraku
Rahwana, aku yakin bahwa Rama adalah Dewa, Sita adalah Dewi dan para kera
adalah makhluk surgawi. Nampaknya ini adalah sandiwara Ilahi. Kamu bersalah
menculik Sita. Jalan damai adalah mengembalikannya. Aku merasa bahwa kata-kata
ini melukaimu akan tetapi aku bicara sejujurnya. Ini tidak berarti aku
membiarkanmu jatuh. Aku akan melawan para kera, Rama dan Lakshmana tapi tidak
menjamin kemenangan bagimu,” demikian kata-kata Kumbhakarna sebelum berangkat
berperang dengan memakai pakaian putih-putih.
Ketika anak panah Sri
Rama mengenai jantungnya dan dia sadar akan mati, Kumbhakarna memilih
menjatuhkan diri kearah prajurit Rama dan ratusan pasukan kera mati tertindih
tubuhnya. Ego pribadi Kumbhakarna sudah sirna, “Aku mengikuti perintah hati
nuraniku untuk melawan mereka yang menyerang negaraku. Dunia ini hanya bersifat
sementara, hanya Dia yang bersemayam dalam diriku dan di luar diriku yang
abadi. Aku hanya menuruti kehendak-Nya, walau akan berakhir dengan kematian”.
Tiba-tiba suasana
menjadi hening, nampak sinar keemasan keluar dari jasad Kumbhakarna menuju ke
arah Sri Ramadan bergabung dengan tubuh Sri Rama. Kumbhakarna mencapai status
tertinggi bersatu dengan Ilahi tanpa
melakukan sadhana (upaya spiritual), japa (pembacaan mantra) atau tapa
(pengendalian pancaindera dan pikiran).
Kumbhakarna
dalam Srimad Bhagavatam
Dua penjaga Raksasa
Dwarapala dalam Gunungan Wayang Kulit, juga dua sosok arca di depan gerbang
istana atau kantor instansi adalah dua raksasa penjaga istana Vishnu yang
bernama Jaya dan Wijaya yang juga diabadikan sebagai nama pegunungan di Papua
sebagai pintu gerbang Indonesia bagian Timur oleh Bung Karno. Dikisahkan Vishnu
ingin suasana tak terganggu saat berdua dengan istrinya Lakshmi. Jaya dan
Wijaya diinstruksikan untuk tidak mengizinkan semua pengunjung masuk. Empat
tamu dipimpin Resi Sanaka telah mempunyai janji untuk bertemu dengan Vishnu,
akan tetapi Jaya dan Wijaya menolak mereka masuk ke dalam istana. Resi Sanaka
marah dan memberi kutukan bahwa ke dua raksasa penjaga tersebut akan turun di
dunia dan lahir dua belas kali sebagai musuh Vishnu, majikan yang diagungkan
mereka.
Sesaat setelah
selesainya kejadian tersebut, Vishnu datang mohon maaf kepada Resi Sanaka putra
Brahma dan mengatakan kepada Jaya dan Wijaya bahwa mereka berdua cukup lahir
tiga kali sebagai musuh Vishnu dan akan kembali lagi bersama Vishnu. Jaya dan
Wijaya pertama kali lahir pada zaman Satya Yuga sebagai Hiranyaksha yang
dibunuh Vishnu sebagai Varaha Avatara, dan Hiranyakashipu yang dibunuh oleh
Vishnu yang berwujud sebagai Narasimha Avatara.
Jaya dan Wijaya kemudian mengambil kelahiran kedua pada zaman Treta Yuga
sebagai Rahwana dan Kumbhakarna, yang terbunuh oleh Vishnu sebagai Sri Rama Avatara.
Di masa Dwapara Yuga, Jaya dan Wijaya lahir sebagai Shishupala dan Dantavakra
dan dibunuh oleh Vishnu sebagai Sri Krishna Avatara.
0 komentar:
Posting Komentar