Alam semesta tunduk pada satu hukum yang berlaku baginya. Hukum tersebut dalam ajaran Hindu disebut dengan Rta, Rta sebagai hukum tertinggi yang mengatur alam semesta menyebabkan badan- badan angkasa beredar dengan teratur dan harmonis. Demikianlah ajaran Hindu menggariskan umatnya untuk hidup dalam keteraturan, keteraturan berarti memahami posisi, fungsinya dan apa yang menjadi pusat orientasi hidupnya pada fase tertentu. Dalam ajaran Hindu, perjalanan panjang kehidupan manusia hingga terjadi kematian dibagi atas empat fase yang disebut dengan catur asrama. Dalam Agastya Parwa disebutkan mengenai pembagian jenjang kehidupan ini, ‘catur asrama ngaran brahmacari, grhasta, wanaprasta, bhiksuka, nahan tang catur asrama ngaranya’ artinya catur asrama terdiri dari brahmacari, grhasta, wanaprasta, dan bhiksuka, demikianlah yang disebut dengan catur asrama.
Salah satu fase hidup pertama yang digariskan dalam konsep catur asrama tersebut adalah brahmacari, yang merupakan fase hidup dari manusia itu dilahirkan hingga menginjak masa berumah tangga (grhasta). Kata brahmacari berasal dari kata ‘Brahma’ yang berarti Tuhan atau kebenaran, dan kata ‘cari’ yang berarti mencapai, mengejar, dan mendapat. Dengan demikian brahmacari berarti masa atau fase hidup yang berusaha secara terus-menerus mencari kebenaran atau hakikat Brahman. Dalam konteks kekinian maka brahmacari juga berarti masa hidup mengejar ilmu pengetahuan sebagai bekal di kemudian hari (sang sedeng mangabhyasa sanghyang sastra), dari sini maka semakin jelaslah apa yang menjadi kewajiban ketika seseorang masih dalam masa brahmacari, tiada lain adalah mengejar ilmu pengetahuan, inilah yang menjadi dharma utamanya, seperti halnya yang tersurat dalam Sarasamuscaya sloka 27,
“matangnya deyaning wwang, pengponganikang kayowanan, panedeng ning awak, sadhanakena ri karjananing dharma, artha, jnana,kunang apan tan pada kasaktining atuha lawan rare,drstanta nahan yangalalang atuha, telas rumepa, maring alandep ika. Artinya, “karenanya usaha seseorang selagi masih muda, selagi badan kuat, supaya diabdikan untuk mengusahakan dharma, artha, dan pengetahuan, sebab tidak sama kekuatan sesudah tua dibandingkan anak muda, kebiasaan itu demikian, kalau alang-alang itu sesudah tua pada rebah, ujungnya tidak tajam lagi.
Demikianlah ajaran dalam pustaka Sarasamuscaya, seorang pemuda hendaknya selalu memepersiapkan diri dengan menggunakan dharma sebagai payung hidup dalam mengejar harta dan pengetahuan. Pengetahuan (jnana) dalam konteks kekinian tentu bukan semata-mata pengetahuan keagamaan, namun juga berbagai pengetahuan berguna dalam era penuh persaingan. Mengapa membekali diri dengan berbagai pengetahuan harus dilaksanakan pada saat masih muda, tiada lain karena pada fase ini seseorang masih sangat tajam pikirannya dan ditunjang oleh fisik yang masih kuat, yang tentu saja akan semakin berkurang ketika umur semakin tua.
Mengapa pada fase awal kehidupan manusia ini ilmu pengetahuan menjadi orientasi pertama, tiada lain karena hanya dengan pengetahuanlah manusia akan dipermulia, sebuah proses pergulatan dari awidya menuju widya, hal ini sejalan pula dengan ajaran dalam pustaka Slokantara bahwa salah satu hal yang jangan sekali-kali ditunda adalah mengejar ilmu pengetahuan (kapetan ing widya). Dengan pengetahuan manusia tahu tentang baik dan buruk, sehingga dalam menjalani kehidupan nantinya tidak akan terjerumus dalam kubangan kesalahan, dan pada akhirnya hanya mampu menyesali kesalahan tanpa bisa memperbaikinya. Semakin tinggi pengetahuan orang maka akan semakin dihormatilah orang tersebut, hal ini dijelaskan pula dalam Nitisastra I.5, “hemani sang mamukti dumadak tika tan hana guna, yowana rupawan kula wisala tika pada hana, de nika tanpa sastra tan ateja wadana makucem, lwir sekar ning sami murub abang tan hana wangi nika. Artinya, “sangat disayangkan bila orang kaya tiada mempunyai kepandaian, biarpun muda, tampan, keturunan bangsawan dan berbadan sehat, bila tiada pengetahuan mukanya pucat tiada bercahaya, seperti bunga dapdap, merah menyala namun tiada wangi.
Demikian pentingnya arti pengetahuan bagi manusia hingga Nitisastra mengumpamakan orang-orang yang tidak membekali dirinya dengan pengetahuan (widya) bagaikan bunga dapdap yang berwarna merah menyala, namun tiada mempunyai keharuman, artinya dari keturunan manapun, baik seorang bangsawan ataupun orang terpandang, kaya, berwajah tampan ataupun cantik akan menjadi percuma apabila tidak dilengkapi dengan pengetahuan. Apalah artinya keturunan terpandang ketika para penerusnya tidak bisa menjaganya, apalah artinya kekayaan ketika kita tidak mampu mengaturnya, selang beberapa waktu pasti akan habis, itulah sebabnya dikatakan bahwa ilmu merupakan kekayaan yang paling abadi didunia ini. Lebih-lebih dalam dunia globalisasi ini, yang menuntut manusia untuk bersaing secara terbuka, apabila tidak dibekali dengan pengetahuan maka akan terus tertinggal dan menjadi terbelakang.
Selain mengejar ilmu pengetahuan, maka sesuai dengan ajaran Sarasamuscaya diatas, masa brahmacari hendaknya mulai belajar untuk mengusahakan harta yang tentu saja dilandasi dengan dharma atau di dapat dengan cara yang baik. Masa brahmacari merupakan masa peralihan menuju masa grehasta, sehingga penting sekali ia mulai belajar mandiri, setidaknya belajar untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari atau bahkan bisa membantu keperluan orang tua. Kemandirian merupakan hal yang sangat penting dalam kehidupan dewasa ini, karena tanpa kemandirian maka seorang pemuda tidak lebih akan menjadi beban orang tuanya, dan akan menjadi tertinggal ditengah persaingan global yang menuntut usaha setiap individu untuk bisa bersaing dalam mengejar materi.
Oleh : Ida Bagus Wika Krishna
0 komentar:
Posting Komentar