Kepemimpinan Hindu
Dalam kehidupan manusia didunia ini banyak ditemui
usaha kerjasama untuk mencapai suatu tujuan yang disepakati bersama.
Keseluruhan proses kerjasama itu dinamakan organisasi. Dengan kata lain
organisasi adalah proses atau rangkaian kegiatan kerja sama sejumlah orang,
untuk mencapai tujuan tertentu (Nawawi da Handari, 1995:8).
Setidaknya ada dua jenis organisasi yaitu Organisasi
formal dan non formal. Organisasi formal memiliki struktur yang relatif
permanen, prosedur dan mekanisme yang statis, pasti dan teratur. Sedangkan
Organisasi non formal memiliki struktur yang semi permanen, prosedur dan
mekanismenya mudah berubah sesuai dengan kebutuhan dan keputusannya cenderung
ditentukan oleh kesepakatan bersama.
Baik organisasi formal maupun non formal, pasti
memeriukan seseorang untuk menempati posisi pemimpin (leader). Seorang pemimpin
didalam sebuah organisasi mengemban tugas melaksanakan kepemimpinan. Dengan
kata lain pemimpin adalah orangnya dan kepemimpinan adalah kegiatannya.
Sehubungan dengan itu maka kepemimpinan dapat diartikan sebagai kemampuan / kecerdasan mendorong sejumiah
orang agar bekerjasama dalam melaksanakan kegiatan-kegiatan yang terarah pada
tujuan bersama (Nawawi dan Handari, 1 995:9).
Kepemimpinan adalah proses mendorong dan membantu
orang lain untuk bekerja secara antusias ke arah tujuan. Kepemimpinan juga
berarti aktivitas mempengaruhi orang lain untuk berusaha mencapai tujuan
kelompok secara sukarela. Dengan kata lain kepemimpinan adalah proses
mempengaruhi orang lain untuk mengerjakan apa yang diinginkan untuk dikerjakan
oleh orang lain. Konsep demikian kelihatanya sederhana, tetapi pada
kenyataannya sering kali sangat kompleks, karena didalam kepemimpinan hadir
suatu proses mengarahkan dan mempengaruhi tugas-tugas yang berhubungan dengan
kegiatan antar kelompok.
Dari uraian diatas ada empat implikasi penting,
yaitu :
1) Kepemimpinan selalu melibatkan orang lain sebagai pengikutnya. Dengan
keinginan mereka untuk menerima pengarahan dari pimpinan, maka status pemimpin
menjadi jelas dan membuat proses kepemimpinan memungkinkan- tanpa ada yang
mengarahkan, semua kualitas kepemimpinan dari seorang manajer akan tidak
relevan.
2) Kepemimpinan melibatkan sebuah pembagian kekuatan yang tidak
seimbang antara pemimpin dan anggota kelompok. Seorang pemimpin harus mempunyai
kekuatan lebih dari kelompok yang dipimpin.
3) Kepemimpinan adalah kemampuan
menggunakan bentuk-bentuk kekuatan yang berbeda untuk mempengaruhi
perilaku-perilaku pengikut dalam sejumlah cara.
4) Aspek gabungan dari
ketiganya yang mengakui bahwa kepemimpinan adalah sebuah nilai (value). Ini
adalah sebuah catatan berharga bahwa meskipun kepemimpinan dihubungkan dalam
kepetingan dalam manajemen, kepemimpinan dan manajemen bukanlah konsep yang
sama.
Politik Hindu
Banyak pihak yang beranggapan bahwa politik adalah
kotor karena politik selalu diidentikkan dengan perebutan kekuasaan yang
menghalalkan segala cara. Akan tetapi, Hindu memandang politik tidak
semata-mata sebagai cara mencari, dan mempertahankan kekuasaan, melainkan
adalah bagi penegakkan Dharma. Hal ini banyak dijelaskan dalam percakapan
antara Bhagawan Bhisma dengan Yudhistira pasca perang Bharatayudha, yaitu dalam
Santi Parwal LXIII, hal 147, sebagai berikut:
"manakala politik telah sirna, veda pun sirna
pula, semua aturan hidup hilang musnah, semua kewajiban manusia terabaikan.
Pada politiklah semua berlindung. Pada politiklah semua awal tindakan
diwujudkan, pada politikiah semua pengetahuan dipersatukan, pada politiklah
semua dunia terpusatkan".
Dalam bab yang lain dijelaskan pula bahwa:
"ketika tujuan hidup manusia - dharma, artha,
kama, dan moksa semakin jauh. Begitu juga pembagian masyarakat semakin kacau,
maka pada politikiah semua berlindung, pada politiklah semua kegiatan
agama/yajna diikatkan, pada politiklah semua pengetahuan dipersatukan, dan pada
politiklah dunia terpusatkan"
Untaian kalimat dalam Santiparwa tersebut
mengisyaratkan bahwa antara Politik dan Agama mempunyai kaitan yang sangat
erat, yaitu politik Hindu adalah untuk menjalankan dan menegakkan ajaran
Dharma. Dharma adalah hukum, kewajiban, dan kebenaran yang apabila dilanggar
maka akan berakibat pada kehancuran umat manusia, dan sebaliknya dharma yang
dijaga akan membawa kemuliaan (dharma raksatah raksitah).
Antara politik dan kepemimpinan merupakan sebuah
mata uang yang tak dapat dipisahkan. Pemimpin yang baik adalah pemimpin yang
mampu memberikan tauladan, selalu mengusahakan kesejahteraan rakyat (sukanikang
rat), dan menghindari kesenangan pribadi (agawe sukaning awak). Dalam Kautilya
Arthasastra dijelaskan pula bahwa "apa yang menjadikan raja senang
bukanlah kesejahteraan, tetapi yang membuat rakyat sejahtera itulah kesenangan
seorang raja". Kalimat ini menunjukkan bahwa sasaran pokok dalam politik
Hindu adalah kebahagiaan rakyat, bukanlah kesejahteraan penguasanya karena
penguasa yang berhasil membawa rakyatnya pada kebahagiaan tertinggi, kemuliaan
adalah pasti ("sang sura menanging ranaggana, mamukti sukha wibawa, bogha
wiryawan").
Selayang Pandang Kepemimpinan di Era Hindu Indonesia
Tanda-tanda tentang adanya pengaruh agama Hindu,
dapat dibaca pada batu tertulis (Prasasti) di Kalimantan dan di Jawa Barat.
Dari peninggalan itu dapat disimpulkan bahwa gaya huruf dari tulusan ini yang
digolongkan sebagai huruf Pallawa dan bila diperhitungkan umurnya kira-kira
abad keempat Masehi. Kerajaan pribumi pada waktu itu, menjalin hubungan dengan
perdagangan dengan kerajaan India dan mengadopsi konsep-konsep Hindu, baik
untuk mengatur negara maupun kerohanian. Yang sangat mencolok adalah pengaruh
kepada organisasi negara, yang diatur sangat Hirarkis, berorientasi ke atas,
sebagai aktualisasi dari konsepsi "raja adalah keturunan Dewa".
Melalui konsep "raja adalah keturunan Dewa" maka kekuasaan raja
menjadi absolut.
Para pemimpin waktu itu berusaha dengan bantuan para
Pendeta Hindu, untuk menarik garis keturunan kepada Dewa (Brahma, Wisnu, Siwa
dan Dewa lainnya) pada dirinya guna melegitimasi kekuasaanya. Waktu itu
diyakini, bahwa hanya keturunan Dewa bisa menjadi pemimpin. Tetapi yang terjadi
tidak selalu demikian. Pemimpin yang ingin diakui oleh masyarakat adalah mereka
yang berhasil "Mbrojol selaning Garu" (Iolos dari seleksi yang ketat).
Kepemimpinan dalam Sastra-Sastra Hindu
Dalam ajaran Agama Hindu banyak sekali ditemukan
ajaran tentang kepemimpinan. Ia tersebar mulai dari Weda sampai pada berbagai
sastra Hindu. dalam kitab Atharva Veda: 3.4.1 dijelaskan tentang tugas seorang
pemimpin sebagai berikut:
Wahai pemimpin negara, datanglah dengan cahaya,
lindungilah rakyat dengan penuh kehormatan, hadirlah sebagai pemimpin yang
utama, seluruh penjuru mamanggil dan memohon perlindunganmu, raihlah kehormatan
dan pujian dalam negara ini.
Disamping sebagai pelindung rakyat, pemimpin juga
harus memperhatikan kesejahteraan masyarakat. Hal ini nampak jelas dalam
kutipan sebagai berikut:
Bilamana seorang pemimpin dalam sebuah negara selalu
mengikuti kebenaran dan dharma, serta mencukupi kebutuhan rakyatnya, maka semua
orang bijaksana dan tokoh masyarakat akan mengikuti dan menyebarkan dharma
kepada masyarakat luas (Atharva Veda: 3.4.2).
Bila seorang pemimpin memperhatikan masalah
kesejahteraan rakyat serta mampu memberikan perlindungan kepada masyarakat,
maka rakyatpun akan melindungi pemimpin itu sendiri ibaratnya Singa dan hutan
yang saling melindungi, demikianlah keberadaan pemimpin dengan yang
dipimpinnya.
Pemimpin yang tidak terkalahkan, melindungi
rakyatnya dengan selalu meminta perlindungan Tuhan, sebaliknya rakyatpun akan
selalu menghormati, dan melindungi pemimpin tersebut. (Rg Veda: 4.50.9)
Bila seorang pemimpin yang pemarah dengan
kesombongannya ingin menghancurkan dan menghina para Brahmana yang ahli Veda,
maka negara tersebut akan hancur. (Atharva Veda: 5.19.6)
Dalam Nitisastra 1. 1 1 disebutkan bahwa :
Orang tidak boleh tanpa Asraya (tempat mohon
bantuan) namun usahakanlah Mahasraya. Lihatlah itu si ular naga yang mencari
tempat berlindung pada Bhatara Siwa karena Baktinya ia dijadikan kalung oleh
Bhatara Siwa. Ketika burung Garuda datang (musuh ular) terpaksa ular itu
dihormati pula.
Dalam Tantri Kamandaka, si gajah yang besar dan kuat
namun angkuh, mati dibunuh oleh persekutuan si burung siung, lalat dan katak.
Persekutuan dan persatuan merupakan suatu kekuatan yang maha besar sehingga
akan mampu menumbangkan kekuatan sebesar apapun.
Penguasa-penguasa di Bali jaman dahulu rupa-rupanya
memaklumi hal ini sehingga beliau melaksanakan strategi menggalang persatuan
rakyat dalam wilayahnya. Warga-warga disatukan, dipersaudarakan dengan
menyatukan pura kawitannya dalam satu kompleks pura dengan pura raja dan
menyebut mereka wargi sang raja. Pada hari-hari tertentu wargi-wargi itu
bertemu di Pura, yang menggalang rasa kelompok dan rasa bakti kepada raja.
Namun dalam hal ini raja harus cerdik melaksanakan segala upaya mempersatukan
rakyatnya. Dalam sastra Jawa Kuno dikatakan bahwa Raja harus melaksanakan taktik
Catur Upaya Sandhi, yaitu Sama, Beda, Dana dan Danda.
Diatas pundak seorang pemimpin terletak tanggung
jawab yang berat. Ditangan pemimpin tergenggam nasib segenap rakyat atau
kelompok yang dipimpinnya. Nasehat Rama kepada Wibhisana dalam Kekawin Ramayana
(XXIV, 51-61) yang disebut Asta Brata merupakan cerita pemimpin yang ideal.
Asta Brata itu sesungguhnya ajaran dari Manawa Dharmasastra VII.3-4 yang
digubah dalam bentuk yang indah sehingga menjadi populer di Indonesia. Adapun
terjemahan isi dari Astabrata dalam Kekawin Ramayana adalah:
"Dan ia disuruh untuk menghormatinya, karena
Ida Bhatara ada pada dirinya, delapan banyaknya berkumpul pada diri sang
Prabhu, itulah sebabnya ia amat kuasa tiada bandingnya. Hyang Indra, Yama,
Surya, Candra, Bayu, Kuwera, Baruna, Agni, demikian delapan jumlahnya,
beliau-beliau itulah sebagai pribadi sang raja, itulah sebabnya disebut Asta
Brata"
- Indra brata, Sang Hyang Indra usahakan pegang, Ia menjatuhkan hujan menyuburkan bumi, inilah hendaknya engkau contoh lndrabrata, sumbangan-sumbanganmu itulah bagaikan hujan membanjiri rakyat.
- Yamabrata menghukum segala perbuatan jahat, ia memukul pencuri sampai mati, demikianlah engkau ikut memukul perbuatan jahat, setiap yang merintangi usahakan musnahkan.
- Bhatara Surya selalu menghisap air, tiada rintangan, pelan-pelan olehnya, demikianlah engkau mengambil penghasilan, tiada cepatcepat demikian Surya Brata.
- Sasi Brata adalah menyenangkan rakyat semuanya, perilaku lemah lembut tampak, senyummu manis bagaikan amerta, setiap orang tua dan pendeta hendaknya engkau hormati.
- Bagaikan anginiah engkau waktu mengamati perangai orang, hendaklah engkau mengetahui pikiran rakyat semua, dengan jalan yang baik sehingga pengamatanmu tidak kentara, inilah Bayu brata, tersembunyi namun mulia.
- Nikmatilah hidup dengan nikmat, tidak membatasi makan dan minum, berpakaian dan berhiaslah, yang demikian disebut Dhanabrata patut diteladani.
- Bhatara Baruna memegang senjata yang amat beracun berupa Nagapasa yang membelit, itulah engkau tiru Pasabrata, engkau mengikat orang-orang jahat.
- Selalu membakar musuh itu perilaku api, kejammu pada musuh itu usahakan, setiap engkau serang cerai berai dan lenyap, demikianlah yang disebut Agnibrata.
Dari uraian-uraian diatas jelas menunjukkan bahwa tujuan
raja memimpin negaranya ialah untuk menyelenggarakan kesejahteraan rakyatnya.
Tuntunan Niti dan hukum menjadi pedoman bagi sang pemimpin.
"sakanikang rat kita yan wenang manut,
manupadesa prihatah rumaksa ya, Ksaya nikang papa nahan prayojana, Jananuragadi
tuwi kapangguha.
Artinya:
Tiang negaralah engkau jika bisa mengikuti
Petunjuk-petunjuk hukum Manu (Manawa dharmasastra)
usahakan pegang Hilangnya penderitaan itulah tujuannya
Cinta orang tentu akan kita jumpai.
Petunjuk-petunjuk seperti ini sangat banyak dijumpai
dalam sastra sastra Jawa Kuna, yang memberikan petunjuk bahwa seorang pemimpin
tidak boleh bertidak sesuka hatinya ketika ia memegang kekuasaan. Dari semua
hukum-hukum yang harus dipedomani oleh seorang pemimpin, disimpulkan dalam
dharma yang mengandung pengertian segala sesuatu yang mendukung orang untuk
mendapatkan kerahayuan.
Dalam kakawin Ramayana, Bhismaparwa dan lain-lain
dijumpai uraian dharma sebagai pedoman raja (pemimpin) dalam memimpin
negaranya.
Ika
ta prassidha dharma ulahaning kadi
Kita
prabhu, si mangraksa rat juga,
Mtangian
mangkana,asihning wwang ring
Sarwa
bhuta marikang dharma mangkana ngaranya.
Kotamaning
asih ika pagawenta piratrana ring rat,ika ta sang prabu, Makambek mangakana
Terjemahan:
Demikianlah dharma yang sempurna engkau kerjakan
sebagai raja melindungi negara, sebabnya demikian,sayangmu pada semua makhluk
dharma namanya,penampilan kasih sayang itulah kamu kerjakan, untuk melindungi
negara, demikianiah sang prabhu (pemimpin) seharusnya bertingkah laku.
Kutipan diatas diambil dari Bhismaparwa,yang
merupakan nasehat Bhagawan Bhisma kepada Prabhu Yudistira. Apabila sang Prabhu
tidak melaksanakan tugas-tugasnya sebagai raja yang melindungi rakyat dan
negara, tidak menjadi panutan yang dipimpinnya, maka ia akan kehilangan
kekuasaannya karena ditinggalkan oleh pengikut-pengikutnya. Petunjuk tentang
itu dapat diketahui dari kutipan berikut:
"Laku bhrtya matinggal ratunya, yan hana ratu
akeras mapanas ing gawe, byakta sira tininggal ing wadwa nira, leheng ikang
ratu makeras swapadi ngrutu makumed tar paradanda, yan hana ratu mangkana
tininggal kawulanira, ya leheng makumed paradanda swapadi ratu awisesa, awisesa
ngaranya manarub, ya hana wwang kulina janma sinoraken, yang hana wang
adhahjati dinuhuraken, yeka anarub ngaranya, yan hana ratu mangkana tininggal
sira de ning janma wwang kulina janma, (slokantara 40)
Terjemahan :
Pelayan dapat meninggalkan rajanya, bila raja kejam
dan bengis tindakannya. Raja yang demikian tentu akan ditinggalkan rakyatnya.
Lebih baik raja yang kejam daripada raja yang kikir dan sewenang-wenang. Raja
yang kikir dan sewenang-wenang lebih baik daripada raja awisesa, yaitu raja
yang mencampurbaurkan persoalan. Orang-orang yang arif bijaksana direndahkan
dan orang yang hina dimuliakan, itulah mencampur-baurkan namanya. Bila ada raja
yang demikian akan ditinggalkan oleh orang-orang arif.
Kutipan ini menunjukkan beberapa hal yang harus
dihindari oleh seorang pemimpin agar tak ditinggalkan oleh para pengikutnya.
Seorang pemimpin yang baik menurut ajaran Hindu haruslah memperhatikan masalah
kesejahteraan para pengikutnya. Petunjuk tentang itu dapat dilihat pada nasehat
Rama kepada Wibisana berikut ini:
Dewa
kusala salam mwang dharma ya pahayun,
Mas
ya ta pahawreddhin bhaya ring hayu kekesan,
Bhukti
akaharepta wehing bala kasukan,
Dharma
kalawan artha mwang kama ta ngaranika.
(Kakawin
Ramayana III, 54)
Terjemahan:
Pura-pura (tempat suci), rumah sakit dan pedarman
supaya diperbaiki, supaya diperbanyak untuk biaya pembangunan disimpan
baik-baik. Nikmatilah apa yang kamu ingini berilah kesejahteraan. Dharma,
artha, dan kama namanya demikian itu.
Santasih
nitya thaganan.
Kasih
sayang hendaknya engkau selalu lakukan. (Ramayana III, 65)
Kutipan ini juga mengandung makna bahwa raja atau
pemimpin harus mengembangkan nilai kejujuran (satya ta sira mojar) dan karena
itu semua rakyat akan segan terhadap raja atau pemimpinnya.
Kepemimpinan Yang Paripurna Menurut Hindu
"Gunamanta
Sang Dasarata
Wruh
Sira Ring Weda Bhakti Ring Dewa
Tarmalupueng
Pitra Puja
Masih
Ta Sireng Swagotra Kabeh"
Kutipan bait Ramayana di atas, menegaskan bahwa
seorang pemimpin yang sempurna dalam konsep Hindu adalah seorang Rajarsi atau
satria pandita. Artinya, seorang pemimpin harus memiliki kedua sifat dalam
dirinya, yaitu sifat seorang Ksatria yang gagah berani dalam menegakkan dharma,
dan seorang pandita yang arif bijaksana, selalu dalam kesucian, dan penuh cinta
kasih.
Sumber :
Prof. DR. Ida Bagus Gunada, M.Si
http://www.parisada.org/index.php?option=com_content&task=view&id=304&Itemid=29
0 komentar:
Posting Komentar