Perkembangan kebudayaan suatu suku bangsa tidak
terlepas dari penafsiran dan pengetahuan bangsa tersebut terhadap lingkungan.
Kebudayaan di sini bisa diartikan, keseluruhan dari pengetahuan manusia sebagai
makhluk sosial untuk memahami dan menginterpre¬stasikan lingkungan dan
pengetahuannya. Karena ini menjadi ker¬angka landasan bagi mendorong
terwujudnya kelakuan mereka dalam masyarakat. Dengan demikian kebudayaan
merupakan serangkaian aturan-aturan, petunjuk-petunjuk, resep-resep,
rencana-rencana dan strategi yang terdiri atas serangkaian model-model kognitif
yang digunakan secara selektif oleh manusia yang memilikinya sesuai dengan
lingkungan yang dihadapinya.
Agama Hindu dalam menginterpretasikan hubungan
timbal balik antara manusia dan lingkungan hidup pada dasarnya berpangkal pada
kitab suci Weda, dan kerangka dasar dari agama Hindu yaitu, Tattwa, Susila dan
Upacara.
Ajaran Tattwa memberikan petunjuk filosofis yang
mendalam menge¬nai pokok-pokok keyakinan maupun mengenai konsepsi ketuhanan,
sedangkan ajaran susila merupakan kerangka untuk bertingkah laku yang baik
sesuai dengan dharma, dan upacara merupakan kerangka untuk menghubungkan diri
dengan Tuhan dalam bentuk persembahan. Esensi dari upacara pada dasarnya adalah
yadnya korban suci dengan hati tulus ikhlas, serta dasar hukum dari yandnya
adalah “Rna” (Dewa Rna, Rsi Rna dan Pitra Rna).
Secara lebih rinci konsep-konsep dasar agama Hindu
tentang hubungan timbal balik antara manusia dan lingkungan hidup dimulai dari
konsep “Rta” dan “ Yadnya”.
Rta
Sebagai bagian imanen (tak terpisahkan) dari alam,
manusia pada setiap tahap dalam kehidupannya dikuasai oleh fenomena dan hukum
alam, bahwa semua yang ada ini tunduk pada alam semesta, tidak ada sesuatu
apapun yang luput dari hukum yang berlaku dalam dirinya. Matahari terbit di
timur dan tengelam di barat, air mengalir ketempat yang lebih rendah, api
membakar, angin berhem¬bus, manusia lapar, haus dan akhirnya mati, karena
memang demiki¬anlah hukum yang berlaku pada dirinya.
Kewajiban umat Hindu agar lingkungan tetap terjaga
dalam artian harmoni ditegaskan dalam Kitab Atharwaweda (XII:1), menegaskan :
‘satyam brhad rtam nram diksha tapa brahma yajna
prthirviam dharayanti’
artinya :
satya, rta, diksa, tapa, brahma dan yajna inilah
yang menegakkan bumi, satya adalah kebenaran, yang diwujudkan dengan berbuat
kebajikan, rta adalah hukum yang sepatutnya secara sadar haruslah ditaati,
diksa adalah kesucian yang diwujudkan dengan trikaya parisudha (berpikir,
berkata dan berbuat diatas kebenaran), yajna adalah persembahan (korban suci),
brahma adalah brahman yang tiada lain adalah Tuhan / Sanghyang Widhi sendiri
(widhi tattwa), tapa adalah pengendalian yang selalu mampu mewujudkan kebenaran
berdasarkan dharma sehingga dari satya mewujudkan siwam, dari siwam mewujudkan
sundaram (kebenaran, kesucian, keindahan).
Yadnya
Hakikat hubungan antara manusia dengan alam adalah
apabila terja¬di keadaan yang harmonis, seimbang antara unsur-unsur yang ada
pada alam dan unsur-unsur yang dimiliki oleh manusia. keseimban¬gan inilah yang
selalu meski dijaga, dan salah satu cara yang ditempuh adalah dengan melakukan
yadnya. Dalam kontek hubungan manusia dengan lingkungan (alam, binatang dan
tumbuh-tumbuhan) pada masyarakat Bali misalnya, ada upacara Tumpek Bubuh dan
Tumpek Kandang. Dasar filosofis Tumpek Bubuh berpijak pada sikap untuk memberi
sebelum menikmati, dalam konteks dengan pelestarian sumber daya hayati, sebelum
manusia menikmati dan menggunakan tumbuh-tumbuhan sebagai bagian menu makanan haruslah diawali dengan proses
penanaman dan pemeliharaan, misalnya seorang petani sebelum menikmati nasi, ia
terlebih dahulu menanam padi. Seperti halnya Tumpek Bubuh, Tumpek Kandang juga
menawarkan kepada kita untuk selalu mencintai segala jenis satwa, dan dasar
filosofis Tumpek Kandang berpegang pada ajaran bahwa manusia dengan ling¬kungan
ibarat singa dengan hutan, singa adalah penjaga hutan dan hutanpun menjaga
singa. Dalam Kitab Suci Bhagawadgita, III:10, menyebutkan :
‘sahayajnah prajah srstva, puro’vaca prajapatih,
anena prosavisyadhvam, esa vo’stv istakamadhuk’
dahulukala Tuhan menciptakan manusia dengan yajna
dan berkata : ‘dengan yajna pulalah hendaknya engkau berkembang, dan biarlah
ini (bumi) menjadi sapi perahanmu dengan maksud bahwa bumi / alam / lingkungan
ini menjadi sapi perahanmu untuk dapat memenuhi kinginan manusia untuk dapat
hidup yang layak dan harmoni dan selalu dipelihara dengan baik dan
diusahakan seoptimal mungkin bagi
kemakmuran bersama.
‘annad bhavanti bhutani, parjanyad annasambhawah,
yajna bhavati parjanyo, yajnah karma samudbhawah’
karena makanan mahluk hidup, karena hujan makanan
tumbuh, karena yajna persembahan hujan turun, dan dari persembahan melahirkan
karma perbuatan.
Manusia sebagai komponen sentral dalam sistem
lingkungan ini sudah sepantasnya selalu menjaga keseimbangan diantara
komponen-komponen lingkungan yang lainnya.
Hubungan Timbal Balik
Hubungan timbal balik antara manusia dan alam harus
selalu dijaga, salah satu cara yang dipakai untuk menjaga hubungan timbal
balik ini adalah dengan upacara (caru). Ada beberapa jenis dan tingkatan caru
tersebut yaitu, ekasatha, pancasatha, pancakelud, rsighana, baliksumpah, labuh
gentuh, pancawalikrama dan tawur ekadasarudra.
RWA BHINEDA
Konsepsi ini merupakan keyakinan masyarakat bawah
walaupun meru¬pakan dua unsur yang selalu berbeda namun jika dihayati maka
perbedaan tersebut sebanarnya proses penciptaan yang tujuannya untuk mencapai
kebahagiaan, dimana keselarasan dan keseimbangan akan dapat terwujud dalam
kehidupan di dunia ini. Ajaran ini berpesan bahwa laki-perempuan, baik-buruk,
mati hidup, neraka-sorga, senang-susah, siang-malam, matahari-bulan, keduanya
bersa¬maan munculnya pergi dan datang. Jika tidak muncul keburukan maka waktu
itu pula kebaikan akan menyertai, jika muncul kebaikan, maka bersama itu pula
keburukan akan muncul sebab baik dan buruk itu tidak terpisah-kan. Dalam
konteks hubungan manusia dengan lingkungan hidup, konsep ini kemudian dirinci
ke dalam konsep-konsep yang lebih mendetail yaitu konsep Luan-Teben,
Segara-Gunung, Kaja-kelod.
TRI HITA KARANA, REFLEKSI DAN AKTUALISASI
Di dalam konsep ini terkandung unsur-unsur
1. Unsur Hyang Widhi/Tuhan Yang Maha Esa,
2. Unsur manusia
3. Unsur alam.
Perwujudannya konsep itu dalam pola permukiman
misalnya menjadi :
1.
Parhyangan, berupa unit pura tertentu sebagai unsur pencermi¬nan
Ketuhanan
2. Pawongan, keorganisasian masyarakat adat, sebagai
perwujudan manusianya
3.
Palemahan, berupa perwujudan unsur alamnya.
Konsep di atas akan lebih jelas apabila kita
bandingkan penera¬pannya dengan konsep Tri Angga pada manusia, konsep Tri
Mandala pada rumah tangga dan desa.
1. Tri Angga pada Manusia
1.1. Utama angga (kepala)
1.2. Madya angga (badan)
1.3. Nista angga (kaki)
2. Tri Mandala pada : Rumah.
2.1. Pemerajan (utama,parhyangan)
2.2. Tegak umah (madya, pawongan)
2.3. Teba (Nista,palemahan).
3. Desa :
3.1. Pura/kahyangan tiga (parhyangan)
3.2. Lingkungan karang perumahan (pawongan)
3.3. Lingkungan karang perkawinan (pelemahan)
Ketiga unsur itu, harus terjadi hubungan timbal
balik yang harmonis dan serasi sehingga kesejahteraan dan kebahagiaan hidup
akan tercapai.
0 komentar:
Posting Komentar