Loading...

DIAM, SEBAGAI TINDAKAN UNTUK INTROSPEKSI & REFLEKSI


Ilustrasi

Tradisi India menekankan konsep  mauna atau diam sebagai pendorong ideal untuk   introspeksi dan refleksi. Berasal dari kata muni, seorang pertama yang mempratekan diam, mauna secara ideal merupakan symbol dari satu keadaan persatuan dengan Sang Diri (Jiwa).
Mauna dijelaskan oleh Sankara sebagai satu dari tiga sifat pokok seorang  sanyasi, bersama dengan balya atau keadaan seperti anak-anak dan  panditya atau bijaksana (wisdom). Menurut Ramana Maharshi, mauna adalah keadaan di luar berbicara dan berpikir, ia adalah  “hidup tanpa rasa-ego.” 
Dia menjadikan diam sebagai media latihan spiritual.

Para maharesi jaman dahulu menggunakan satu bulan dalam musim dingin  untuk disiplin spiritual dan latihan ini akan berpuncak pada diam yang sempurna pada hari ke  15 pada malam yang paling gelap dari bulan  magha, dikenal sebagai  Mauni Amavasya. 
Meditasi pada hari itu dipercaya sebagai sangat baik, khususnya bila dilakukan pada pertemuan tiga sungai di  Prayag (Allahabad). Sampai dewasa ini, para bhakta dan  sadhaka datang dari jauh ke Prayag untuk mempraktekan tapa dan ritual yang keras, dikenal sebagai  kalpa-vas, yang berakhir dengan pelaksanaan  Mauni Amavasya. Secara luas diakui sebagai hari baik (yang membawa keberuntungan), Mauni Amavasya juga mempunyai hubungan  simbiotik dengan  Kumbha Mela di Prayag, dan ini diperkuat dalam  Magha Mela tahunan dari  kalpa-vasees.  Susastra yoga kuno menjelaskan ketiga sungai ini dalam terminologi metaphorik, sebagai sushumna, ida dan pingala nadi dalam tubuh yang harus dibawa ke dalam keseimbangan untuk memasuki keadaan mauna atau samadhi.
Keinginan untuk Kesatuan (the quest for Oneness) telah menarik banyak bhakta pada jalan kontemplasi melalui praktek diam. J Krishnamurti sering mengatakan: “Pikiran yang memasuki dirinya melewati perjalanan tirtayatra yang panjang dari mana tidak ada jalan kembali.” 
Diam adalah sifat-sifat atau ciri-ciri yang sangat menentukan dari pencarian makna hidup  bagi Mahavira dan Buddha — yang satu melaksanakan diam selama 12 tahun pada jalan yang dipilihnya dan yang lain dijadikan contoh dari maharesi yang diam (the silent sage), Sakyamuni, “seorang yang diam dari wangsa Sakya”. Diam juga menjadi ciri dari sadhana  Sri Aurobindo  karena dia mempraktekan diam hampir selama  17 tahun, dan  Mahatma Gandhi adalah seorang pengikut dari brata diam, melaksanakan mauna setiap Senin. Suara diam yang mentransformasi ini membuat Ramana Maharshi meyakini mauna sebagai bentuk diksha atau inisiasi terbaik dan tertinggi. 
Thayumanavar, Rsi-kawi Tamil terbesar, mengikuti disiplin mauna sampai akhirnya diam ini menjadi keadaan hidupnya, yang membuat ia menjelaskan ini sebagai “keadaan yang secara spontan berwujud setelah peniadaan ego”. 
Mauni Amavasya adalah suatu hari  sadhana spiritual, untuk masuk ke dalam kebiasaan menenangkan pikiran yang gelisah. Sivaya Subramuniyaswami berbicara tentang tujuh langkah menuju diam emas, mengenai bagaimana melenyapkan ketakutan dan kecemasan dan kecemburuan, mengenai bagaimana mengatasi ketakutan dari diam itu sendiri yang kita semua memilikinya, dengan memulainya “dengan duduk dan diam”. Terlepas dari makna keagamaannya, Mauni Amavasya adalah satu panggilan untuk batin atau sang Jiwa, tentang kebutuhan untuk memulai satu dialog dengan diri sendiri, tentang kebutuhan untuk memulai tirtayatra spiritual. 
Swami Chidananda melihat brata diam sebagai disiplin spiritual yang paling dasar bagi  evolusi ‘hidup suci’ dari manusia, mulai dengan diam suara atau bicara (mauna of vak or speech), yang, melalui praktek diam, akan membimbing kepada diam atau mauna pikiran yang sesungguhnya.    
Dalam kontras yang langsung dari   philsafat Cartesian cogito ergo sum:  Aku berpikir, karena itu aku ada, para maharesi Vedanta dari Sankara sampai Ramana telah mendefinisikan keadaan bebas dari pikiran dan mauna sebagai kunci kepada dimensi spiritual itu, yang memungkinkan seseorang untuk menjadi saksi bagi pikiran itu.             
Tradisi telah menganggap Mauni Amavasya merupakan waktu yang ideal untuk mengendalikan vikshepa atau penyimpangan pikiran dan memusatkan perhatian ke dalam batin. Kesempatan itu adalah satu panggilan kepada jiwa atau semangat dari adagium kuno : “Diamlah dan ketahui dirimu (Be still and know thyself).”

0 komentar:

Posting Komentar

 
TOP